August 03, 2016

Synecdoche, New York (2008)

Synecdoche, New York (2008)

Imitasi Kehidupan Dalam Sebuah Panggung






Warning: Contain Spoiler!

Caden Cotard (Philip Seymour Hoffman) adalah seorang sutradara teater di Schenectady, New York. Cotard memiliki seorang istri, Adele Lack (Catherine Keener), seorang pelukis gambar-gambar mini dan seorang putri berusia empat tahun yang bernama Olive (Sadie Goldstein). Selain harus berjuang keras dengan pekerjaannya, Cotard juga merasa tidak bahagia dengan kehidupan rumah tangganya. Dia lalu menjalin affair dengan Hazel (Samantha Morton), seorang penjaga tiket. Namun, di saat Cotard merasa bahwa perselingkuhan tersebut salah, Adele malah memilih pergi bersama sahabatnya, Maria (Jennifer Jason Leigh) ke Berlin dengan membawa serta Olive. Di saat bersamaan, Cotard mendapatkan bantuan dana "MacArthur Fellowship" untuk mewujudkan impian artistiknya. Dia lalu menciptakan replika kehidupan kota New York sebagai bagian dalam pertunjukannya.

Tanpa tahu jalan ceritanya dan tanpa ekspektasi apapun, saya tanpa sadar menikmati sekali film Synecdoche, New York ini. Padahal, jujur, film ini membuat saya bingung dan bertanya-tanya terus sepanjang film berlangsung, tetapi anehnya saya menikmati sekali momen-momen kebingungan tersebut. Synecdoche, New York adalah buah karya seorang Charlie Kaufman yang terkenal dengan naskah-naskahnya yang cerdas dan diluar logika seperti Being John Malkovich, Adaptation, Eternal Sunshine of the Spotless Mind. Dan kali ini Kaufman sendirilah yang menyutradarai naskah buatannya dan hasilnya adalah Synecdoche, New York; sebuah film dengan plot yang kompleks, absurd, dan tentu saja membuat penontonnya harus berpikir keras sepanjang film berlangsung. Ini adalah sebuah film yang indah, berseni dengan perpaduan akting, musik dan dialog yang sempurna. Sesuatu yang jarang ditemui dalam tipikal film-film Hollywood saat ini. Sesuatu yang sukses memberikan kesan mendalam ketika film usai. Dan film ini kualitasnya dipuji oleh banyak kritikus film, seperti Rogert Ebert misalnya, yang menyatakan bahwa Synecdoche, New York sebagai "The Best Movie of the Decade in 2009". Namun, keberhasilan film ini di mata para kritikus film malah berbanding terbalik dengan yang terjadi di lapangan. Film ini justru kurang sukses di pasaran. Memang, Synecdoche, New York bukanlah film yang bisa dinikmati oleh semua orang.

Sinekdok yang bermakna penggambaran sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan atau sebaliknya, dipaparkan secara jelas oleh Kaufman dalam film ini, dimana Cotard mempresentasikan segala lika-liku kehidupannya dalam miniatur kota New York yang dibangunnya untuk pementasan teaternya, lengkap dengan bangunan dan orang-orang di dalamnya. Teater tersebut ibarat sebuah sinekdok, dimana pementasan yang dilakukan di panggung mempresentasikan kejadian yang terjadi di dalam sebuah kehidupan nyata, begitu juga sebaliknya dimana kehidupan nyata dapat dilihat hanya sebagai sebuah teater dan kehidupan hanyalah sebuah pementasan belaka. Seperti halnya replika kota New York yang dibangun Cotard merupakan sinekdok dari kehidupannya; tidak jelas apakah kejadian yang terjadi dalam kehidupannya hanyalah sebuah pementasan belaka ataukah pementasan tersebut sebenarnya terjadi di kehidupan nyata. Kita akan dibawa dalam suasana dimana kita akan sulit membedakan yang mana yang nyata, mimpi atau hanya imajinasi. Ya, Kaufman membuat batas antara imajinasi dan kenyataan terasa kabur, memudar dan seolah menyatu. 

Kaufman juga memasukkan banyak unsur metafora dan simbol-simbol yang berbicara, seperti The Burning House contohnya. The Burning House tersebut ibarat takdir kematian yang tak terelakkan, namun Hazel tetap memilih membeli rumah tersebut walaupun dia tahu bahwa rumah tersebut tidak aman dan kapan saja bisa terbakar. Hazel menyingkirkan rasa takutnya dan menerima takdir hidupnya karena dia menyadari bahwa setiap orang pasti akan mati dan dia lebih memilih mati di rumah yang indah walaupun harus terbakar nantinya. Hal yang sangat berkebalikan dengan Cotard yang seperti tidak bisa menerima takdirnya dan takut akan kematian. Itulah mengapa kehidupan manusia merupakan subjek terpenting yang digambarkan dalam film ini. Jika kita melihat bahwa pertunjukan teater Cotard dan alur cerita dalam film ini tampak berantakan dan acak, itu karena kehidupan pun demikian adanya. Tak ada yang statis. Film ini juga menyoroti perjalanan hidup seseorang terutama tentang sisi gelap dalam diri seseorang yang terus menghantui. Ketakutan-ketakutan itu terlihat dalam hasil karya Cotard dimana dia menciptakan panggung teater yang semakin lama semakin besar ukurannya. Kontras dengan karya lukisan buatan Adele yang justru semakin lama semakin berukuran kecil dan menjadikannya seniman yang sukses. Ya, Synecdoche, New York adalah film tentang kehidupan, tentang kematian, juga eksistensi.

Akting yang hebat ditunjukkan dari para pemainnya; terutama Philip Seymour Hoffman yang benar-benar menunjukkan taringnya di film ini. Hoffman seolah menyatu dengan karakter Cotard yang rapuh, putus asa dan depresi dengan kehidupannya. Pemain lain seperti Samantha Morton, Michelle Williams, Catherine Keener, Emily Watson, Dianne Wiest, Jennifer Jason Leigh, Hope Davis dan Tom Noonan tak kalah briliannya beradu akting di film ini. Ditutup dengan sajian lagu Litte Person yang memukau dari Deanna Storey, Synecdoche, New York adalah film yang akan meninggalkan bekas yang mendalam ketika selesai menontonnya. Synecdoche, New York is beautifully haunting. I really love love love this movie.








Title: Synecdoche, New York | Genre: Drama  | Director: Charlie Kaufman | Writer: Charlie Kaufman | Music: Jon Brion | Cinematography: Frederick Elmes | Release dates: May 23, 2008 (Cannes), October 24, 2008 (United States, limited) | Running time: 123 minutes | Country: United States | Language: English | Cast: Philip Seymour Hoffman, Samantha Morton, Michelle Williams, Catherine Keener, Emily Watson, Dianne Wiest, Jennifer Jason Leigh, Hope Davis, Tom Noonan | IMDb | Rotten Tomatoes









7 comments:

Andi Chakra said...

Aku curiga jangan-jangan isi kepala charlie kaufman itu labirin atau semacamnya. Film-film dia tuh selalu absurd dan kita yang nonton kayak harus ngikutin kemauan dia :)

Radira said...

Coba diintip aja isi kepalanya, siapa tahu mirip sama isi kepala kamu XD
Justru karena keabsurdannya itulah, film-film Kaufman selalu memikat hati dan punya tempat tersendiri di hati para movie freak *halah

Andi Chakra said...

Atau isi kepala kamu XD
Atau isi kepala Kaufman sebenernya adalah isi kepala orang-orang yang di dalem isi kepala orang-orang ada isi kepala lagi *apasih
Kamu udah nonton yang being john malkovich?

Radira said...

Wah, kalo mirip isi kepala saya, saya senang sekali malah XD

Belum nonton yang itu tapi sudah masuk di list tontonan ^^

jodi said...

Ane malah mikirnya ini film ttg keimanan, masturbasi dan persepsi manusia ttg persepsi Tuhan akan manusia yg seharusnya, yg ternyata sudah dikonstruk juga persepsinya itu..

Radira said...

Keimanan atau persepsi manusia tentang persepsi Tuhan akan manusia yg seharusnya mungkin masih bisa diterima, tapi masturbasi??? Ough!! How could you say that?

bungrudi said...

Saya malah berpikir film putus asa, terlalu filosofis, film religi atau bahkan absurd. Tapi anehnya, saya betah menikmatinya selam 2 jam.

Translate

Waiting Lists

Sur mes lèvres.jpg Dark, brown-tinted and horror-themed image of a man in an asbestos-removal suit (to the right side of the poster), with an image of a chair (in the middle of the image) and an image of a large castle-like building at the top of the image. The text "Session 9" is emboldened in white text in the middle of the image, and near the bottom of the image is written, "Fear is a place." Lisbeth Salander with Mikael Blomkvist The Girl Who Played with Fire.jpg Page turner.jpg Le trou becker poster3.jpg Nightwatch-1994-poster.jpg Headhunter poster.jpg On the Job Philippine theatrical poster.jpg The Song of Sparrows, 2008 film.jpg The-vanishing-1988-poster.jpg Three Monkeys VideoCover.png