November 30, 2012

Tokyo Story (1953)

Tokyo Story (1953)





        



Tokyo Story (1953)
(Tôkyô Monogatari)
Drama

Director: Yasujirō Ozu
Release date(s): November 3, 1953
Running time: 136 minutes
Country: Japan
Language: Japanese

Casts:
 Chishu Ryu
Chieko Higashiyama
Setsuko Hara
Haruko Sugimura  
"Isn't life disappointing?" - Kyoko


Saya semakin keranjingan nonton film-film lawas. Kali ini film lawas dari negeri sakura yang jadi pilihan saya. Tokyo Story yang disebut-sebut sebagai one of the greatest movie all the time. Film ini disutradarai oleh dewanya sutradara Jepang, Yasujiro Ozu.

 

Plot ceritanya sederhana saja, yaitu sepasang suami istri tua, Shukishi Hirayama (Chishu Ryu) dan Tomi Hirayama (Chieko Higashiyama) yang berasal dari Onomichi, mengunjungi anak-anak mereka di Tokyo. Tetapi sayangnya, anak-anak mereka malah sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Koichi Hirayama (So Yamamura) sebagai anak tertua adalah seorang dokter di pinggiran kota, sedangkan Shige Kaneko (Haruko Sugimura) yang merupakan anak perempuan tertua, membuka salon kecil di rumahnya. Yang menemani Shukishi dan Tomi selama di Tokyo justru sang menantu, Noriko Hirayama (Setsuko Hara) yang suaminya meninggal ketika perang.


Dengan plot yang sederhana dan durasi selama dua jam lebih ini, membuat film ini malah kian menarik untuk diikuti. Alurnya cepat tanpa cerita yang bertele-tele, sehingga membuat waktu 136 menit menjadi tidak terasa. Film ini memang menyikap tentang masalah keluarga, seperti apa sebenarnya keluarga itu. Bagaimana hubungan anak-anak dengan orang tua, dengan jaman yang sangat kontras satu sama lain; tradisional versus modern. Dimana setiap orang tua pasti peduli pada masa depan anaknya, tetapi setiap anak juga terkadang ingin melepaskan diri dari keinginan orang tua tersebut tanpa harus merasakan perasaan bersalah yang menghantui mereka.

 
Tokyo Story menampilkan kekhawatiran orang tua-anak akan banyak hal yang harus dihadapi dalam hidup seperti perjuangan untuk mempertahankan hidup yang tidak sesuai dengan harapan orang tua, perubahan yang terjadi dalam hubungan orang tua-anak disebabkan oleh perubahan jaman, atau pun perpisahan dan kehilangan yang tidak bisa dihindarkan. Namun, baik orang tua mau pun anak, tidak ada yang bisa disalahkan. Semua adalah hakikat dari kehidupan itu sendiri. 


Banyak hal yang sepertinya memang terjadi di jaman sekarang, dituturkan dalam film ini. Salah satunya adalah ketika Shige dan Koichi yang sibuk, mengirim kedua orang tua mereka ke Atami, sebuah tempat pemandian air hangat agar mereka bisa menikmati rileksasi. Padahal bukan itu yang sebenarnya diinginkan oleh mereka. Meraka hanya ingin merasakan kebersamaan dengan anak-anak mereka dan tentu saja kepedulian dari anak-anak mereka tersebut. Tapi yang ada anak-anak mereka malah menganggap mereka sebagai beban. Kendati, kita pun tidak bisa menyalahkan sang anak karena memang situasi kondisi kehidupan mereka yang memaksa mereka berbuat seperti itu. Lalu para cucu yang begitu terlihat acuh tak acuh terhadap kakek-nenek mereka dan mungkin malah tidak diajarkan tentang sopan santun atau pun tradisi yang ada, sangat mencerminkan perilaku kehidupan di jaman sekarang. Tanpa bisa dipungkiri, inilah realitas yang terjadi di jaman sekarang ini. Dan Ozu telah menceritakan hal tersebut dalam filmnya.

 


Dua jempol untuk para pemain dalam film ini, sehingga menciptakan film yang terlihat sangat nyata bagaikan film dokumenter. Emosi kita terasa diaduk-aduk ketika menontonnya. Hampir tiap scene menjadi memorable. Bahkan pertanyaan dari Kyoko (Kyōko Kagawa) kepada Noriko terasa sangat membekas sekali, "Isn't life disappointing?". Walau Ozu tidak memberikan pemecahan masalah yang terjadi dalam film ini, tapi gambaran kehidupan yang dipaparkannya melalui film ini, menjadi tamparan atau pun pembelajaran bagi diri kita sendiri. Tinggal kita sendiri yang mencari jalan keluarnya. Jelas, bagi penikmat film, khususnya penyuka genre human drama, wajib untuk menonton film ini. Recommended!



November 28, 2012

Save the Green Planet! (2003)

Save the Green Planet! (2003)








Save the Green Planet! (2003)
(Jigureul Jikyeora!)

Comedy | Drama | Fantasy
Director: Jang Jun-hwan
Release date(s): April 4, 2003
Running time: 118 min.
Country: South Korea
Language: Korean

Casts:
 Shin Ha-kyun
Baek Yoon-sik
Hwang Jeong-min 
Lee Jae-yong
Lee Ju-hyeon




Seorang pemuda bernama Lee Byeong-gu (Shin Ha-kyun) bersama pacarnya, Su-ni (Hwang Jeong-min), menculik seorang pria yang menjadi CEO of Yoojae Chemical Company di Korea bernama Kang Man-shik (Baek Yoon-sik) yang diyakini adalah alien yang berasal dari Andromeda dan akan menghancurkan bumi.  Byeong-gu berencana untuk menyelamatkan dunia dari invasi para alien tersebut sebelum gerhana bulan terjadi. Dia lalu menyekap Kang Man-shik di basementnya yang terisolasi dan jauh dari pemukiman.


Polisi yang tidak dapat menangani kasus penculikan tersebut, akhirnya menyewa seorang detektif yang berpengalaman dalam memecahkan banyak kasus yaitu Detective Choo (Lee Jae-yong) untuk mencari tau siapa dalang penculikan tersebut.



 

Another sci-fi movie again? Yeah.. lebih kurang begitu. Tapi plot dari film ini sangat unik dan orisinil, dibalut dengan atmosfer comedy-horror yang kental. Tenang, horor yang dimaksud bukan seperti film horor buatan dalam negeri, tapi horor yang lebih ke pemikiran atau perasaan. 


Opening film ini dibuka dengan narasi dari sang aktor utama yang berkata, "You probably think I'm crazy". Lalu dia pun akan mulai bercerita tentang alien, alien dan alien.  Belum lagi penampilan Byeong-gu dengan helm dan segala atribut penangkal aliennya, semakin menegaskan bahwa memang he's crazy. Tapi kemudian ketika tau lebih lanjut tentang apa maksud film ini, mungkin kita akan bergumam, "Who is actually the crazy one?". 



 


Shin Ha-kyun yang saya kenal lewat perannya sebagai pemuda bisu di Sympathy for Mr. Vengeance, mampu menampilkan akting yang bagus di film ini. Dengan ekspresinya yang lugu, tiba-tiba bisa berbalik menjadi sosok yang mengerikan. Lalu Hwang Jeong-min yang berperan sebagai Su-ni cukup menarik perhatian saya. Walau tanpa wajah cantik hasil oplas seperti bintang film Korea lainnya, justru Hwang Jeong-min bisa membuktikan dia bisa berakting dengan sangat baik di film ini.



Save the Green Planet menyajikan sajian yang unik, orisinil, aneh, absurb, nyeleneh, shocking, thrilling dibalut dengan dark-horror comedy. Dengan plot yang sukar tertebak, membuat betah menontonnya dari awal hingga akhir. Tapi untuk sebagian orang, bahkan mungkin banyak orang, akan sulit untuk bisa menikmati tontonan dengan genre seperti ini karena tontotan ini memang cukup berat sebenarnya.



Dan untuk endingnya, silahkan anda sebagai penonton berinterpretasi sendiri. Karena saya pribadi cukup shock dengan ending seperti itu. Akhirnya, Save The Green Planet adalah film yang menggambarkan tentang balas dendam yang unik, dimana korban dan pelakunya adalah manusia itu sendiri. So, who's gonna save the planet now??














November 24, 2012

Rope (1948)


Rope (1948)











Rope (1948)
Crime | Drama | Mystery

Director: Alfred Hitchcock
Release date(s): August 28, 1948
Running time: 80 minutes
Country: United States
Language: English

Casts:


Yeah, keranjingan film-film Hitchcock terus nih, saya jadinya! Kali ini pilihannya jatuh pada Rope. Nggak ada alasan khusus untuk menontonnya, cuma iseng aja pengen nonton, apalagi ternyata durasinya nggak panjang, cuma 80 menit. Seperti film-film Hitchcock lainnya, kali ini pun temanya tetap sama yaitu crime dan sang pembunuh malah sudah diberitahu secara terang-terangan di awal.


Adalah Brandon dan Philip, dua orang pemuda yang membunuh teman mereka David Kentley karena menganggap diri mereka lebih hebat dan unggul secara intelektual dibanding David. Mereka membunuh David dengan cara mencekik lehernya dengan seutas tali dan meletakkan mayatnya di dalam peti tua sambil melanjutkan rencana mereka mengadakan pesta kecil di apartemen mereka. Mereka mengundang orang tua David, kekasihnya Janet, teman mereka Kenneth dan guru sekolah mereka Rupert



Hmm.. menarik? Yeah, cukup menarik! Apalagi peti tempat dimasukkannya mayat David  tersebut, tiba-tiba disulap jadi tempat menghidangkan makanan. Hanya Brandon dan Philip yang tau akan hal tersebut. Brandon bahkan terlihat sangat tenang dan menikmati pesta. Sebaliknya Philip gelisah terus sepanjang pesta, takut jika kejahatan mereka akan terbongkar. 




Saya suka dengan teknik pengambilan gambarnya walaupun saya tidak begitu tau tentang sinematografi. Kamera terlihat terus bergerak bagaikan di-shoot dalam sekali take saja. Gerakan kamera tersebut membuat kita seperti sedang melihat dan mendengar segala sesuatu yang sedang terjadi dalam film ini tapi tetap fokus pada karakter yang sedang berbicara. Kamera hanya berhenti ketika seorang pemain akan berjalan dengan mengambil atau memperbesar bagian punggung sang pemain tersebut selama beberapa detik sehingga kita akan tau tahu persis apa yang terjadi di sekitarnya setiap saat

 

Walau tanpa adegan vulgar, namun jelas terlihat bahwa film ini bertema homoseksual. Beberapa adegan gamblang antara Brandon dan Philip sempat menunjukkan hal tersebut. Tapi dibalik hal tersebut, yang pasti karakter Brandon yang dimainkan John Dall justru kelihatan lebih menarik ketimbang karakter Rupert yang dimainkan oleh James Steward. Karisma Steward seakan sedikit tertutupi oleh penampilan ciamik Dall. 




Sayang, karakter Janet yang diperankan oleh Joan Chandler tak begitu menonjol. Beda dengan para aktris muda lainnya yang bermain dalam film Hitchcock seperti Grace Kelly atau Kim Novak yang karakternya justru sangat menonjol dalam film-film Hitchcock. Yang mencuri perhatian justru karakter Mrs. Anita Atwater, tante David yang diperankan oleh Constance Collier.



Dengan setting yang hanya dilakukan di apartemen saja, mengingatkan pada Dial M for Murder dan Rear Window. Tapi sayangnya, ketegangannya kurang terasa. Selain itu, banyaknya dialog dalam Rope, membuat saya dilanda kebosanan di beberapa bagian. Satu lagi yang membuat saya agak "jengah" adalah ketajaman insting Rupert yang terlihat berlebihan menurut persepsi saya pribadi.



 














November 23, 2012

Sorry, Wrong Number (1948)

Sorry, Wrong Number (1948)






Sorry, Wrong Number (1948)
Drama | Film-Noir | Thriller | Suspense


Director: Anatole Litvak
Release date(s): September 1, 1948
Running time: 89 min.
Language: English



Casts:
 Barbara Stanwyck
Burt Lancaster
Ann Richards
Wendell Corey



Leona Stevenson, seorang wanita kaya yang angkuh dan sedang sakit, menunggu dengan tidak sabar kepulangan suaminya, Henry Stevenson, dari kantor. Akhirnya dia menelepon ke kantor suaminya tetapi jadi salah sambung. Leona malah mendengar percakapan dua orang pria yang berencana untuk membunuh seorang wanita. Leona menjadi penasaran siapa korban yang akan dibunuh tersebut. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa karena operator telepon tidak bisa melacak panggilan tersebut. Begitu juga dengan polisi yang tidak punya bukti siapa si pelaku perencana pembunuhan tersebut.



Sorry, Wrong Number adalah cerita sandiwara radio yang sukses di masanya. Kemudian, dibuatlah versi filmnya pada tahun 1948. Dengan durasi 89 menit, kita akan disajikan film yang penuh ketegangan. Tetapi seperti tipikal film jadul, film ini pun menyajikan terlalu banyak dialog. Selain itu, adegan flashback kerap dihadirkan ketika Leona menelepon atau ditelepon seseorang. 



Tidak terlalu banyak twist yang dihadirkan dalam film ini. Bahkan dari awal film pun, saya sudah bisa menebak siapa korban yang akan dibunuh tersebut. Dengan ditampilkannya adegan-adegan flashback, semakin memperkuat dugaan saya bahwa memang "dia" yang akan dibunuh. Mungkin karena terlalu seringnya saya menonton film dengan genre seperti ini. Tapi film ini tidak lantas membuat saya menghiraukannya untuk tidak ditonton. Justru sebaliknya, saya semakin penasaran kenapa si "dia" itu menjadi target pembunuhan.


Sorry, Wrong Number memang cukup asik untuk dinikmati. Alur cepat tanpa cerita bertele-tele.  Saya hanya merasa sedikit bosan dengan adegan ketika Leona dan Sally ngobrol terlalu lama di telepon, lengkap dengan flashback yang dihadirkan. 


Dengan tampilan hitam putih, membuat ketegangan yang ada dalam film ini semakin terasa. Ketegangan semakin terasa memuncak takkala kita merasakan apa yang dirasakan Leona, sendirian di rumah sebesar itu dan dalam kondisi fisik serta mental yang kurang sehat. Satu-satunya penghubung ke dunia luar hanyalah lewat telepon. Belum lagi film ini dibuat dalam tampilan gloomy dan dark, sehingga kesan suspense dan thrillernya semakin kental. Nuansa jadulnya juga sangat terasa, selain fashion yang dikenakan tentunya.

   


Melihat karakter Leona yang sakit tapi sangat annoying itu, malah terkadang membuat kesal bukan kasian. Walaupun akhirnya kita akan tau kenapa dia seperti itu. Terimakasih untuk Barbara Stanwyck yang sukses memerankan karakter Leona dengan bagus. Para pemain lain pun memainkan peran mereka dengan cukup bagus. Walapun saya rasa karena terlalu banyak pemain dalam film ini, porsi dari beberapa para pemain pendukung yang ada seperti hanya sepintas lalu saja. 

  


Buat penggemar film suspense atau thriller, khususnya film lawas, Sorry, Wrong Number bisa jadi salah satu pilihan yang wajib untuk ditonton. Terutama beberapa menit menjelang klimaks, film ini benar-benar menyajikan ketegangan yang seru. Hmm... Saya jadi penasaran untuk mendengarkan sandiwara radionya. Mungkin saja ketegangannya justru jauh lebih seru.
 



  












Translate

Waiting Lists

Sur mes lèvres.jpg Dark, brown-tinted and horror-themed image of a man in an asbestos-removal suit (to the right side of the poster), with an image of a chair (in the middle of the image) and an image of a large castle-like building at the top of the image. The text "Session 9" is emboldened in white text in the middle of the image, and near the bottom of the image is written, "Fear is a place." Lisbeth Salander with Mikael Blomkvist The Girl Who Played with Fire.jpg Page turner.jpg Le trou becker poster3.jpg Nightwatch-1994-poster.jpg Headhunter poster.jpg On the Job Philippine theatrical poster.jpg The Song of Sparrows, 2008 film.jpg The-vanishing-1988-poster.jpg Three Monkeys VideoCover.png