May 21, 2015

A Cube of Sugar | Ye Habe Ghand (2011)


A Cube of Sugar (2011)







Sebagai anak bungsu dalam keluarga besarnya, Pasandideh (Negar Javaherian) terkenal sebagai gadis baik, penurut dan penyayang keluarganya. Dia selalu bisa diandalkan untuk mengurus ibu, paman dan bibinya. Beberapa hari lagi dia akan menikah dengan seorang pria yang tinggal di luar negeri. Kakak-kakaknya beserta para suami dan anak-anak mereka masing-masing datang untuk membantu menyiapkan acara pernikahan adik bungsunya tersebut.

Satu kata setelah selesai menonton film ini: menyesal! Ya, saya menyesal! Menyesal kenapa baru sekarang menontonnya! Film ini begitu memikat hati saya. Saya benar-benar jatuh cinta dengan film ini. Setiap adegan di dalam film ini begitu berkesan dan membuat saya sangat menikmatinya sekali. Seyyed Reza Mir-Karimi sebagai sang sutradara begitu pintar meramu film ini sedemikian rupa. Bersetting di sebuah rumah tua yang besar di pedesaan lengkap dengan kolam dan kebun buah-buahan di sebuah kota tua di Iran, suasana harmonis keluarga besar Pasandideh seolah membuat kita ingin bergabung dengan mereka di rumah tersebut. Rumah tersebut merupakan milik paman Ezzatolah (Saeed Poursamimi), kepala keluarga dan yang dituakan di keluarga tersebut. Untuk setting rumahnya sendiri ternyata sengaja dibuat sedemikan rupa oleh para kru film karena tidak ditemukan desain rumah yang sesuai dengan keinginan sang sutradara. 

Suasana keakraban keluarga besar yang tengah berkumpul karena akan adanya hajatan besar menjadi pemandangan yang pasti tidak asing kita temui juga di tengah-tengah masyarakat kita, terutama di daerah pedesaan. Terlihat para wanita sibuk memasak, menjahit bahkan menggosip. Sedangkan para pria saling mengobrol tentang kehidupan mereka masing-masing terutama tentang istri mereka. Lalu yang remaja akan sibuk dengan gadget mereka dan terlihat sibuk dengan diri mereka masing-masing dan tidak peduli dengan sekeliling. Anak-anak tentu saja asik bermain, berlarian ke sana kemari. Suasana seperti itu diperlihatkan Reza Mir-Karimi dengan sangat baik. Itulah mengapa saya katakan bahwa kita sebagai penonton seakan ingin membaur bersama dengan keluarga Pasandideh tersebut dan menjadi salah satu bagian dari mereka. Semua terlihat bahagia dan kita pun seakan larut dalam kebahagiaan yang mereka rasakan - walaupun sebenarnya ada juga sedikit hal-hal yang kurang membahagiakan namun tetap tidak merusak mood kebahagiaan tersebut. Saya jadi merasa seperti sedang menonton dokumenter keluarga yang akan mengadakan acara pernikahan ketimbang menonton film yang penuh dengan script dan akting. Ya, itulah hebatnya Reza Mir-Karimi mengarahkan tiap pemain di film ini untuk berakting sebaik mungkin, mulai dari pemain yang sudah punya nama besar hingga pemain anak-anak yang amatiran; semuanya bermain dengan sangat bagus. Menariknya, tak ada karakter yang paling menonjol disini, semua mendapat jatahnya masing-masing dengan porsi yang pas. 


Namun, anda jangan membayangkan kebahagiaan berlangsung sepanjang film ini. Tidak! Seperti halnya kehidupan, ada kebahagiaan tentu juga akan ada kesedihan. Seperti judulnya sendiri 'A Cube of Sugar', kehidupan itu tidaklah terus-terusan 'semanis gula', namun justru itulah warna-warni kehidupan. Paruh kedua film ini berlangsung, memang atmosfir yang tadinya ceria berubah seketika. Dan lagi-lagi kita sebagai penonton dipaksa untuk ikut andil merasakan apa yang terjadi pada keluarga besar tersebut. Cepat, nyaris tanpa diberi jeda waktu sedikit pun untuk menghela nafas memahami keadaan yang tiba-tiba berubah 360 derajat tersebut. Ah, sudahlah saya tidak mau membeberkan lebih detail lagi, takut spoiler. Lebih baik anda menonton saja sendiri. Akhirnya saya hanya ingin mengatakan bahwa saya jatuh cinta dengan film A Cube of Sugar ini. Jatuh cinta dengan ceritanya, dengan para pemainnya, dengan sinematografinya, dengan musiknya, dengan kostumnya, ah pokoknya semua yang ada di film ini.  Dan  A Cube of Sugar telah menjadi salah satu film Iran favorit saya. Mungkin saya akan menonton film ini lagi nantinya untuk menikmati kembali suasana keakraban keluarga besar Pasandideh. Recommended!





Title: A Cube of Sugar / Ye Habe Ghand | Genre: Drama, Family | Director: Seyyed Reza Mir-Karimi | Cinematography:  Hamid Khozouie Abyaneh | Release dates: 8 October 2011 (BIFF) | Running time: 116 minutes | Country: Iran | Language: Persian | Cast: Negar Javaherian, Farhad Aslani, Saeed Poursamimi, Rima Raminfar, Puneh Abdolkarim-Zadeh, Amir Hossein Arman, Shamsi Fazlollahi | IMDb









May 17, 2015

Kiki's Delivery Service | Majo no Takkyubin (2014)


Kiki's Delivery Service (2014)





Kiki (Fuka Koshiba) seorang penyihir muda berusia 13 tahun, harus meninggalkan rumah selama setahun demi menjalani pelatihan untuk menjadi penyihir yang sesungguhnya. Kiki pun berkelana bersama kucingnya, Jiji untuk menemukan kehidupan baru. Perjalanannya berakhir di sebuah pesisir kota dimana dia diberi tempat tinggal oleh pasangan suami istri penjual roti yang baik hati, Osono (Machiko Ono) dan Fukuo (Hiroshi Yamamoto). Karena terbang adalah satu-satunya kekuatan sihir yang dia miliki, maka Kiki memutuskan untuk membuka layanan pengiriman melalui udara. 

Kiki's Delivery Service. Sebagian dari anda pasti pernah mendengar judul tersebut atau pernah membaca novelnya atau juga pernah menonton animenya. Saya sendiri baru menonton animenya yang merupakan karya apik Hayao Miyazaki dari Studio Ghibli yang terkenal tersebut beberapa waktu lalu sebelum menonton live action movienya ini. Surprisingly, I was really enjoying it. Honestly, saya kurang bisa menikmati sajian anime-anime dari Ghibli sebenarnya, seperti Spirited Away atau Howl's Moving Castle, namun untuk Kiki's Delivery Service, saya menyukainya. Itulah mengapa saya ingin juga menonton live action movienya ini. Cuma pengen tahu aja sebenarnya, gimana, sih jadinya kalo anime terkenal Kiki Delivery Service dibuat ke dalam bentuk live action movie? Dan hasilnya adalah... bad! so bad! Alur ceritanya sama sekali beda, dengan modifikasi di sana-sini. No problem, sih sebenarnya tapi saya pribadi sedikit kecewa karena beberapa karakter favorit saya di anime tidak ditampilkan di live actionnya; salah satunya karakter Ursula.

Script film yang berdasarkan novel karangan Eiko Kadono yang diterbitkan tahun 1985 silam dengan judul yang sama ini memang berbeda dengan versi animenya. Script versi animenya memang dibuat sendiri oleh Hayao Miyazaki. Namun begitu, versi live actionnya ini masih terasa kental dengan racikan ala Miyazaki di beberapa scene. Okay, script yang berbeda tersebut harusnya menjadikan kesegaran baru untuk film ini, namun entah kenapa hal tersebut malah jadi gagal. Apalagi tak bisa dipungkiri bahwa sepanjang film berlangsung, saya terus bertanya-tanya "adegan yang ini (di anime), adegan yang itu mana, ya? Kok nggak ada?" Bagaimana pun juga, versi live actionnya ini pasti akan selalu dibandingkan dengan versi animenya yang fenomenal tersebut. Perubahan bukan hanya pada plot ceritanya saja tapi juga adanya penambahan dan pengurangan karakter dan perubahan setting. Berbicara soal settingnya, ini yang saya suka. Settingnya memang sedikit beda dengan versi animenya; lebih terkesan seperti di Jepang dari pada di Eropa, tapi itu tak masalah karena mungkin terbatas pada budget juga. Tapi adegan paling fenomenal seperti pesawat zeppelin di animenya terpaksa tidak ditampilkan di sini. Namun begitu, saya suka dengan gambaran beberapa tempat yang terlihat mirip dengan animenya, seperti area rumah Osono contohnya. Tapi hal yang paling fatal dan membuat live actionnya ini terkesan buruk adalah visual efeectnya yang sangat sangat buruk untuk kategori jaman sekarang. Everything looks fake. Yang paling parah tentu saja CGI pada bayi kuda nil. Ough!

Film ini semakin jelek lagi karena akting pemainnya juga, terutama Fuka Koshiba yang berperan sebagai Kiki. Koshiba terlihat belum sepenuhnya mengeksplore kemampuannya. Karakter Kiki di sini terlihat sangat tidak loveable seperti karakter di animenya. Jutek, kurang percaya diri, gampang ngambek dan mudah menyerah. I have no sympathy at all for the character. Selain itu Koshiba juga terlihat terlalu tua untuk peran Kiki yang berusia 13 tahun. Ryohei Hirota sedikit lebih baik memerankan karakter Tombo. Machiko Ono is just so so. I have no idea why her acting is not good as usual; flat. Seems like she fails to play Osono's role. Dan yang sangat mengganggu adalah adanya karakter Nazuru (diperankan oleh Hirofumi Arai), si penjaga kebun binatang yang annoying dan teriak-teriak melulu. Justru yang mencuri perhatian adalah kemunculan Tadanobu Asano sebagai cameo yang hanya sebentar tersebut.

Well, jika membandingkan live actionnya ini dengan animenya memang terlihat kurang fair ya?! Namun mau bagaimana lagi, suatu adaptasi apapun pastilah selalu akan dibanding-bandingkan. Dan jika anda mengharapkan sesuatu yang fantastis dari live actionnya ini seperti versi animenya, anda akan sangat kecewa seperti saya. Namun jika anda hanya ingin menikmati suatu tontonan yang bisa ditonton oleh seluruh keluarga, film ini bisa anda coba.






Title: Kiki's Delivery Service / Majo no Takkyubin | Genre: Fantasy | Based on Kiki's Delivery Service by Eiko Kadono | Director: Takashi Shimizu | Music by Taro Iwashiro | Cinematography Sohei Tanikawa | Release date: March 1, 2014 (Japan) | Running time: 108 minutes | Country: Japan | Language: Japanese | Cast: Fūka Koshiba, Ryōhei Hirota, Machiko Ono, Hiroshi Yamamoto,  | IMDb
















May 12, 2015

It Follows (2014)


It Follows (2014)

 





Adegan awal film ini langsung menyuruh kita menebak-nebak, apa sebenarnya yang terjadi dimana ada adegan seorang gadis yang berlari ketakutan ke luar dari sebuah rumah. Namun, jika merujuk pada judul filmnya sendiri, tentulah kita yakin dia sedang diikuti oleh hantu atau makhluk halus sejenisnya. Oke, openingnya lumayan bagus, nih! Lalu kita pun diajak untuk beralih ke karakter utama film ini, Jay (Maika Monroe), seorang gadis berusia 19 tahun yang cantik dan menarik. Hal tersebut tentu saja membuatnya gampang mendapatkan teman kencan. Jay lalu berkencan dengan Hugh (Jake Weary) dan melakukan hubungan seksual. Namun, sesuatu terjadi padanya. Dia ikuti oleh kekuatan supranatural yang aneh yang menghantuinya setiap saat. Dia merasa selalu diikuti oleh seseorang dimana pun berada. Hal tersebut membuat Jay sangat ketakutan. Dengan bantuan saudara perempuannya, Kelly (Lili Sepe) dan teman-temannya; Paul (Keir Gilchrist), Yara (Olivia Luccardi) dan Greg (Daniel Zovatto),  Jay harus menemukan cara untuk mengatasi ketakutan dan kengerian tersebut. 

Well, ekspektasi saya menonton film ini bisa dikatakan cukup tinggi melihat banyaknya review positif dari berbagai forum dan dari para kritikus film. Sejujurnya, saya langsung jatuh cinta dengan pembukaan filmnya yang cukup bagus tersebut dan saya sangat mengharapkan berbagai kejutan manis nantinya di adegan-adegan berikutnya. Namun terkadang memang ekspektasi yang tinggi hanya akan menyakitkan jika kenyataannya berbeda. Dan saya pun kecewa. Pertama, durasinya yang menurut saya terlalu lama sehingga kerap menimbulkan kebosanan luar biasa untuk saya. Jika saja pace-nya tidak berjalan selambat ini, mungkin akan lain ceritanya. Cukup lama untuk menunggu kapan bakal keluar "kejutan" yang manis tersebut setelah rentang waktu dari openingnya. Well, setelah karakter Jay diikuti oleh makhluk-makluk gaib tersebut, memang ada beberapa kejutan yang manis. Atmosfir pun berubah menjadi eerie dan horor seketika. Penampakan para hantunya cukup mengagetkan terutama 'The tall man' yang sukses bikin saya beberapa detik menahan nafas. Sayangnya, itu cuma sebentar saja dan kemudian muncul kebosanan lagi melanda saya. Rasanya ingin sekali men-skip saja adegannya. Kedua, beberapa adegan malah terlihat doesn't make sense at all for me. Salah satunya ketika Jay dihantui oleh para makhluk halus tersebut, dia melarikan diri ke taman yang lokasi lumayan jauh dari rumahnya. Hey, why don't you just stay in the house with your friend, huh? I mean, dia ketakutan setengah mati tapi kenapa dia malah lari sendirian di tengah malam begitu ke taman yang sunyi dan sepi? Siapa yang akan menolongnya jika tiba-tiba para hantu itu menyerbunya? Bukankah lebih aman jika dia bersama dengan teman-temannya? Tapi, ya syukurlah dia tidak diikuti oleh para hantu tersebut disana. But yeah, I really have no idea with that scene at all.

Untungnya, banyak sisi bagus dari film ini seperti pengolahan ceritanya yang untungnya juga tidak menjadi sesuatu yang salah dan terkesan murahan. Let's see, premis ceritanya yang mengenai kutukan karena berhubungan intim tentu terkesan porno dan hal tersebut bisa menjadi sajian basi ala horror popcorn porn movie jika jatuh di tangan sutradara yang salah. Dan untungnya lagi, sex scene-nya juga tidak berlebihan dan masih dalam batas yang wajar untuk sajian horor remaja. Salah satu nilai plus lagi untuk film indie ini adalah para pemain mudanya yang bertampang keren sehingga tentu saja menambah nilai jual bagi filmnya sendiri. Tak bisa dipungkiri, masih banyak penonton yang menonton sebuah film karena tampang keren para pemainnya ketimbang ceritanya yang bagus. Dan bagusnya, para pemain muda tersebut berakting dengan cukup baik pula. Selain itu, sinematografinya begitu bagus dan saya sangat menyukainya. Begitu pun dengan setting lokasinya, terutama perumahannya yang asri dan bangunan tua seperti bangunan di kolam renang yang mampu menciptakan atmosfir horor yang kental. Dan hal terakhir yang menarik adalah tidak akan kita temui adegan flashback yang menceritakan asal muasal kutukan tersebut sebagaimana yang sering kita temui dalam film-film horor masa kini. Para kritikus film mengatakan bahwa film ini menghidupkan kembali formula horor klasik yang pernah ada. Ya, benar adanya! Namun bukan berarti kemudian citarasa horor yang tercipta tersebut bakal langsung sukses begitu saja. Jika ingin jujur, saya jauh merasa lebih takut dan sangat penasaran menonton Don't Look Now atau Suspiria ketimbang It Follows. Don't Look Now memang saya suka filmnya tapi tidak dengan Suspiria. Namun begitu, atmosfir horornya justru lebih terasa kuat dibanding It Follows sendiri. It Follows sendiri kerap dibanding-bandingkan dengan The Babadook yang sukses tahun lalu. Dan menurut saya pribadi, dari sisi cerita The Babadook jauh lebih menjual, begitu pun dari sisi horornya kendati porsi dramanya jauh lebih banyak. Sedangkan It Follows, walau di beberapa adegan memang sukses membuat degup jantung berdetak kencang, namun sisanya tidaklah begitu 'wah'.

Dan akhirnya saya berkesimpulan kenapa film indie satu ini bisa dihujani beragam komentar positif dan rating tinggi diberbagai forum, tentulah karena berani menghidupkan kembali atmosfir horor klasik yang telah lama mati suri dipadu dengan beberapa hal baru yang ada. But for me, I'm not really enjoying this show, bahkan kesan horornya pun terasa biasa saja. Bahkan ketika film ini usai, ya sudah, semua yang saya tonton tadi lenyap seketika tak berbekas sedikit pun di memori saya. Kesan yang sangat berbeda ketika saya menonton fim horor lainnya (seperti Don't Look Now contohnya) dimana adegan horornya pasti akan terus terekam di benak saya. So, I just have to say.. yeah, It Follows is just overrated!






Title: It Follows | Genre: Horror, Mystery | Director: David Robert Mitchell | Music: Disasterpeace | Cinematography: Mike Gioulakis | Release date: May 17, 2014 (Cannes), March 13, 2015 (United States) | Running time: 100 minutes | Country: United States | Language: English | Cast:  Maika Monroe, Keir Gilchrist, Daniel Zovatto, Jake Weary, Olivia Luccardi, Lili Sepe | IMDb | Rotten Tomatoes




May 06, 2015

A Girl Walks Home Alone At Night (2014)

A Girl Walks Home Alone At Night (2014)





Arash (Arash Marandi), seorang pemuda yang sangat bangga bisa membeli mobil dari hasil kerjanya selama 2.191 hari. Namun suatu hari mobilnya tersebut diambil paksa oleh Saeed (Dominic Rains) sebagai pengganti utang ayah Arash yang seorang pecandu narkoba, Hossein (Marshall Manesh). Saeed lalu memamerkan mobil tersebut pada Atti (Mozhan Marno), a lonely prostitute. Tanpa disadari oleh mereka berdua, seorang gadis (Sheila Vand) memperhatikan gerak-gerik mereka dari kejauhan di tengah malam di sebuah kota berhantu yang bernama Bad City tersebut. 

A Girl Walks Home Alone at Night merupakan besutan sutradara Ana Lily Amirpour, seorang perempuan berdarah Amerika-Iran yang dibuat berdasarkan graphic novel dengan judul yang sama karangan Amirpour sendiri. Mengusung genre bertema vampire yang notabene sudah sangat sering diangkat ke layar kaca, tentulah yang menjadi tanda tanya besar adalah apa yang bisa disajikan lebih oleh film ini sehingga tentunya formula membosankan khas vampire tidak akan terulang lagi? Sebaiknya anda menontonnya sendiri, namun saya bisa memastikan bahwa  A Girl Walks Home Alone at Night mampu keluar dari zona membosankan tersebut dan membuat sesuatu yang baru dan fresh. For your information, I don't really like watching vampire movie actually, but I have no idea why I really enjoy watching this movie. Mungkin salah satunya karena mixture yang ada, vampire Iran dengan budaya Iran dibalut dengan cita rasa western menjadikannya kombinasi unik. Namun jangan salah, ini bukan film produksi Iran (saya sendiri salah duga awalnya) karena semua proses syutingnya sendiri diambil di South California, tepatnya di kota kecil Taft di Kern County. Namun karena sang sutradara memiliki darah Iran, maka ia ingin menciptakan sebuah sajian horor vampire dengan ciri khas timur tengah, seperti taglinenya “The first Iranian vampire Western”.


Yang membuat film ini semakin menarik dan terasa so much creepy adalah tampilan sinematografinya yang hitam putih, yang juga sukses menggambarkan suasana mencekam dari Bad City, suatu kota fiksi yang nyaris tanpa tanda-tanda kehidupan tersebut. Visual yang ditampilkan begitu indah dan memanjakan mata sehingga saya sangat betah melihatnya walau dalam nuansa hitam putih. Namun dengan alurnya yang bisa dibilang sedikit lambat, bagi sebagian orang akan merasa bosan terutama di paruh waktu kedua. Tapi tenang, semua akan terselamatkan dengan sajian sountracknya yang begitu asik dari Kiosk, Radio Tehran, White Lies, Federale, Farah dimana terjadi perpaduan beragam genre musik seperti electro, pop, rock alternative bahkan folk ala timur tengah. Salah satu lagu yang memorable tentu saja lagu  Death milik White Lies di salah satu scene favorit saya dalam film ini.


Penampilan Sheila Vand tentulah yang menjadikan film ini terasa memukau. Lewat karakter misteriusnya yang bahkan nama karakternya pun tidak diketahui, Sheila mampu menghipnotis penonton dengan segala gesture dan mimik yang diciptakannya. Kesan misterius, menakutkan, mengintimidasi bahkan mengancam dengan pembawaan yang sangat tenang benar-benar merasuk perlahan dalam imajinasi kita, menimbulkan sensasi horor nan creepy. Bagaimana tidak, kita bahkan tidak tahu apa motif sebenarnya dari sang vampire wanita misterius ini. Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan dilakukannya, siapa yang akan menjadi incaran berikutnya dan apa yang sebenarnya ingin dia capai. Dia bagaikan momok yang sangat menakutkan bagi siapa saja yang pernah melihatnya. Penampilan ciamik lainnya juga ditampilkan oleh para pemain lainnya seperti Arash Marandi, Dominic Rains, Marshall Manesh dan Mozhan Marno yang terkenal berkat film The Stoning of Soraya M. Tak ketinggalan sang sutradara yang juga ingin eksis, Ana Lily Amirpour tampil sebagai cameo dalam film ini, sebagai party girl dengan memakai sebuah topeng.

Dengan mengusung kombinasi horor, romance, thriller ala Iran dibalut dengan spaghetti westerns, A Girl Walks Home Alone at Night merupakan sajian fresh tentang vampire - vampire wanita Iran yang cantik dan menyeramkan dengan skateboardnya - dalam atmosfir magis yang menegangkan. Namun begitu, A Girl Walks Home Alone At Night bukanlah film yang bisa dinikmati oleh semua orang. This is the art movie. For anyone who wanna watch something different about vampire genre, you have to watch this movie. 






Title: A Girl Walks Home Alone At Night | Genre: Horror, Romance, Thriller | Director: Ana Lily Amirpour | Release dates: January 20, 2014 (Sundance), November 21, 2014 (United States) | Country: United States | Language: Persian | Cast: Sheila Vand, Arash Marandi, Marshall Manesh, Dominic Rains | IMDb | Rotten Tomatoes



















Translate

Waiting Lists

Sur mes lèvres.jpg Dark, brown-tinted and horror-themed image of a man in an asbestos-removal suit (to the right side of the poster), with an image of a chair (in the middle of the image) and an image of a large castle-like building at the top of the image. The text "Session 9" is emboldened in white text in the middle of the image, and near the bottom of the image is written, "Fear is a place." Lisbeth Salander with Mikael Blomkvist The Girl Who Played with Fire.jpg Page turner.jpg Le trou becker poster3.jpg Nightwatch-1994-poster.jpg Headhunter poster.jpg On the Job Philippine theatrical poster.jpg The Song of Sparrows, 2008 film.jpg The-vanishing-1988-poster.jpg Three Monkeys VideoCover.png