December 21, 2014

Gita Cinta dari SMA (1979)


Gita Cinta dari SMA (1979)




"Aku yang telah bersusah payah mengejar cintamu ternyata menemui jurang." - Ratna


Apa anda pernah mendengar tentang nama Galih dan Ratna? Atau familiar dengan kisah mereka? Saya yakin pasti pernah, karena nama Galih dan Ratna ada dalam lagu yang dinyanyikan Chrisye dan kalau tidak salah pernah dirilis ulang oleh D' Cinnamons. Dan tahukah anda bahwa kisah Galih dan Ratna ternyata sangat fenomenal di jamannya.? Kisah cinta mereka tersebut tertuang dalam film Gita Cinta dari SMA dimana Rano Karno dan Yessi Gusman yang memerankan kedua tokoh tersebut menjadi icon pasangan remaja yang sangat terkenal dalam film di masa itu. Film ini juga menjadi film terlaris ketiga di Jakarta, tahun 1979 dengan jumlah penonton 162.050 orang. Wow, angka yang cukup fantastis untuk tahun segitu. Walaupun film tersebut dibuat mungkin ketika orang tua kita masih muda - mama saya masih berumur 17 tahun kala itu - tapi kisah yang disajikannya kekal sepanjang masa. Dalam artian, di jaman sekarang pun kita masih bisa menikmati kisah dalam film tersebut - walaupun mungkin beberapa adegannya ada yang tidak cocok lagi dengan jaman sekarang, but it's not a big deal!.

Sesuai judulnya, film ini menceritakan kisah cinta dua sejoli yang masih berstatus pelajar SMA, Galih Rakasiwi (Rano Karno) dan Ratna Suminar Sastrowardoyo (Yessi Gusman) yang juga merupakan pelajar teladan dan bintang kelas di sekolah mereka. Sayangnya, kisah cinta mereka mendapat rintangan yang sangat berat dari ayah Ratna. Ratna bahkan telah dijodohkan dengan seorang mahasiswa fakultas kedokteran. Lalu, bagaimana kisah dua sejoli tersebut? Apakah mereka bisa menghadapi aral merintang dan bersatu kembali?

Mungkin bagi sebagian orang, remaja masa kini khususnya, film ini mungkin terkesan biasa saja, kurang menarik dan ketinggalan jaman, terlebih karena problematika yang terjadi mungkin akan sangat jarang dijumpai di masa sekarang ini. Film ini sederhana, apa adanya, tulus dan jujur dalam menggambarkan segala sesuatunya. Namun, kesederhaan yang tergambar dalam film ini justru yang menjadikan film ini terasa istimewa dan bagus. Kisah cinta remaja yang malu-malu kucing dan polos tergambar jelas dalam setiap adegannya. Hakikat cinta yang tulus digambarkan dengan sederhana, tidak neko-neko, dan bukan hanya mengumbar kata 'I love you' saja di mulut. Ketulusan cinta benar-benar dibuktikan dengan saling mendukung satu sama lain tanpa harus adanya nafsu. Saya tidak yakin kisah cinta remaja sekarang ada yang seperti itu. Kesederhanaan film ini juga tampak dari adegan dan dialognya, tak ada kesan yang dibuat-buat.

Dan adegan-adegannya, terutama adegan di sekolah benar-benar memorable, membuat kita bernostalgia kembali ke jaman sekolah. Saya suka adegan di kelas yang memang digambarkan seperti yang sebenarnya seperti perkenalan murid dan guru baru, guru yang sedang menulis di papan tulis, siswa yang bisik-bisik ketika pelajaran berlangsung dan lainnya. Hal seperti itu nyaris tak ditemukan lagi dalam film atau shitnetron remaja sekarang. Ada juga adegan yang cukup memancing gelak tawa seperti ketika pelajaran olahraga di lapangan dan tak ketinggalan ditampilkan juga adegan pentas seni perpisahan siswa kelas tiga. Ya, film ini benar-benar menggambarkan bagaimana sekolah itu yang sebenarnya. And I miss something like that in the movie nowadays. Dan saya pribadi suka dengan kedua karakter utamanya yang merupakan siswa teladan.

Chemistry yang luar biasa antara Rano Karno dan Yessi Gusman sukses membuat penontonnya seolah merasakan sendiri kisah cinta mereka dalam film ini. Dan soal akting, tak usah diragukan lagi, hampir semua pemain dalam film ini bermain bagus. Dan hal ini jarang sekali ditemukan dalam perfilman tanah air sekarang ini. Kebanyakan film sekarang dibuat asal dengan akting yang juga asal-asalan. Bahkan tak ada script sama sekali, fresh from the oven begitu syuting dimulai. Oh no!! Yeah, memang ada sedikit pencerahan dengan adanya beberapa film yang lumayan berkualitas dalam kurun waktu beberapa tahun ini dan semoga ke depannya semakin banyak lagi sehingga film esek-esek tanpa cerita yang dibuat asal-asalan bisa segera musnah dari perfilman tanah air. Ya ya ya.. ini hanya sedikit uneg-uneg saya saja jadi mari kita kembali ke bahasan awal lagi. Film yang di adaptasi dari Novel karya Eddy D. Iskandar (dirilis ulang tahun 2011) ini juga mempunyai soundtrack yang bagus dan kekal sepanjang masa seperti lagu Gita Cinta dari SMA yang dinyanyikan oleh Rano Karno dan lagu Galih dan Ratna yang dinyanyikan Chrisye. Aransemen musiknya sendiri digawangi oleh Guruh Soekarno Putra yang juga menjadi koreografer untuk adegan di pentas seni perpisahan.

Akhirnya, saya cuma mau bilang kalau film ini bagus dan wajib ditonton oleh pencinta film. Saya pribadi agak susah sebenarnya menonton film bertema romansa begini tetapi saya sangat menikmati film ini. Film ini menjadi bukti nyata bahwa perfilman Indonesia pernah membuat karya yang bagus dan bermutu. Sekedar info saja bahwa film Ada Apa Dengan Cinta juga terinspirasi (katanya) dari film ini. So, you have to watch this movie. Don't miss it!


"Tiada duka selara Galih dan Ratna.
Tiada nostalgia seindah Gita Cinta Dari SMA…" 








Title: Gita Cinta dari SMA | Genre: Romance | Director: Arizal  | Music: Kemal Redha, Guruh Soekarnoputra | Release date: | Duration: | Country: Indonesia | Language: Indonesian | Cast: Rano Karno, Yessi Gusman, Ade Irawan, Adisoerya Abdi, Arie Kusmiran, Doddy Sukma, Lisa Dona, Pong Hardjatmo | Wikipedia | IMDb













December 15, 2014

Midnight Sun | Taiyou No Uta (2006)



Midnight Sun (2006)




(Maybe) Contain Spoiler!
Waktu awal-awal saya kecanduan internet sekitar 7-8 tahun lalu, saya pun mengenal sosok seorang penyanyi Jepang bernama Yui. Dari situ saya pun mengetahui bahwa dia pernah main film berjudul Taiyou no Uta. Waktu itu saya ingin sekali menonton film tersebut tetapi karena ketidaktahuan saya cara mendownload dan susah mencari DVD-nya, maka baru sekarang saya bisa menikmati film tersebut ketika saya kecanduan menonton film lagi setelah vakum lama. Jadi, inilah review singkat saya setelah saya berhasil menonton film berjudul Taiyou no Uta.

Taiyou no Uta yang diartikan Lagu Matahari ini berkisah tentang Kaoru Amane (Yui) yang menderita penyakit Xeroderma Pigmentosum (XP), suatu penyakit yang membuatnya tidak bisa terkena sinar matahari sehingga aktivitasnya nyaris semua dilakukan di malam hari. Kaoru bahkan tidak bersekolah dan teman satu-satunya hanyalah Misaki (Airi Toriyama). Pada malam hari biasanya Kaoru bermain gitar dan menciptakan lagu di sebuah taman. Sedangkan pada siang hari dia justru tidur. Hidupnya benar-benar berbeda seperti kebanyakan orang normal lainnya. Kegemaran lain Kaoru adalah menatap sekeliling melalui jendela kamarnya di lantai dua. Dari situlah dia melihat dunia luar yang tak bisa dirasakannya pada siang hari. Suatu hari ketika melihat ke luar lewat jendela kamarnya, pandangan Kaoru tertuju pada seorang pemuda di halte depan rumahnya. Kaoru seketika jatuh hati pada pemuda yang ternyata bernama Koji Fujishiro (Takashi Tsukamoto) tersebut. Akhirnya Kaoru nekat memperkenalkan dirinya sendiri pada Koji. Lalu apa yang akan terjadi selanjutnya? Apakah perasaan Kaoru akan terbalas?

Baiklah, complain pertama saya adalah durasinya terlalu lama, 119 menit. Paruh waktu pertama memang enjoy banget nontonnya tapi paruh waktu kedua, saya sempat ketiduran sebentar karena ceritanya mulai terasa cheesy. Dan seperti film dengan tema sama dimana karakter utamanya terkena penyakit mematikan, kita pun pasti sudah tahu seperti apa nantinya yang bakal terjadi pada karakter tersebut. Tapi, ini bukanlah film melodrama buatan Korea yang setiap adegannya pasti dibumbui adegan tear-jerking (yang membuat saya kadang jadi ngantuk menontonnya) dan karakter utamanya pasti terlihat sangat menyedihkan, Taiyou no Uta terlihat lebih realistis. Bahkan karakter Kaoru sekalipun tak terlihat menyedihkan atau harus dikasihani. Semangat pantang menyerahnya serasa menghidupkan suasana dalam film ini (dan ini juga yang membuat saya suka dengan film-film Jepang yang minim melodrama dan lebih menonjolkan semangat pantang menyerah).  Walaupun ada kalanya terlihat karakter Kaoru juga hopeless tapi saya rasa hal itu wajar. Toh, pada akhirnya dia bersemangat lagi untuk mewujudkan impiannya.

Yui yang berperan sebagai Kaoru masih terlihat belum sepenuhnya total berakting. Sesekali terlihat dia malu-malu atau kikuk di depan kamera. Akting kerennya baru terlihat ketika dia beradegan memetik gitar dan menyanyi. Dan sepertinya Yui menyadari bahwa dirinya memang tidak bisa berakting. Saya pernah membaca sebuah artikel yang mengatakan bahwa dia tidak akan pernah main film lagi dan Taiyou no Uta akan menjadi satu-satunya film yang dia bintangi. Keputusan yang bagus, Yui! Tetapi saya lupa tahun berapa saya membaca artikel tersebut karena setelah mengecek info tentang Yui, saya mendapati bahwa dia pernah menjadi bintang tamu dalam dorama Kaito Royale (2011). Melihat karakter Kaoru di sini sepertinya memang dibuat sesuai dengan diri Yui yang sebenarnya yang memang pemalu. Dan karakter Kaoru yang pemalu tersebut ternyata bisa nekat juga memperkenalkan  dirinya sendiri pada Koji. "Amane Kaoru desu! 16sai desu! Kareshi wa imasen!" ("I'm Amane Kaoru. I'm sixteen. I dont have a boyfriend."). Itulah kata-kata yang dilontarkan Kaoru pada Koji ketika memperkenalkan dirinya. Dan adegan tersebut sangat lucu dan menghibur. Sepertinya apa yang dilakukan Kaoru tersebut bisa jadi referensi juga buat berkenalan dengan para lelaki, nih! ^^

Kendati Yui sebagai pemain utama dalam film ini, namun saya menilai faktor pemain pendukungnyalah yang justru berhasil menghidupkan cerita dalam film ini. Takashi Tsukamoto yang berperan sebagai Koji salah satunya. Takashi Tsukamoto memang spesialis peran-peran yang lucu dan rada bego kayak Koji ini. Dan saya sedih dia selalu kebagian peran seperti itu terus padahal dia punya potensi yang cukup bagus dalam mengembangkan aktingnya  :(. Ah, sebenarnya alasan utama saya menonton film ini juga karena ingin melihat Takashi Tsukamoto. Karakter Koji memang sangat menyenangkan dan loveable sehingga beberapa kali tercipta momen-momen lucu yang bisa membuat saya tersenyum melihatnya. Selain Takashi, Goro Kishitani dan Kuniko Asagi yang berperan sebagai orang tua Kaoru juga bermain bagus. Terutama Goro Kishitani, saya suka karakter yang dimainkan disini. Tak ketinggalan Airi Toriyama yang juga bermain lumayan bagus.

Ya, walaupun beberapa karakternya saya suka dan tema pantang menyerahnya bagus, tapi sayangnya saya memang tidak menikmati film ini sama sekali. Yeah, mungkin karena genrenya juga, sih! Jika saya menontonnya pada tahun film ini tayang, pasti saya yakin saya akan mengatakan bahwa film ini bagus dan recommended. Tapi sayangnya, saya menontonnya delapan tahun kemudian, sehingga saya sudah bosan dengan formula chessy yang terdapat dalam film ini. Begitu pun film ini tetap saya rekomendasikan untuk pecinta film romance dan tentu saja bagi Yui-lover. Bonusnya, Yui menyanyikan tiga buah lagunya di film ini yaitu Skyline, It's Happy Line dan Good-bye Days.




Title: Taiyou no Uta / Midnight Sun / A Song to the Sun / タイヨウのうた | Genre: Romance, Drama | Director: Norihiro Koizumi | Music: Yui | Release dates: June 17, 2006 | Running time: 119 min. | Language: Japanese | Cast: Yui, Takashi Tsukamoto, Kuniko Asagi, Goro Kishitani, Sogen Tanaka, Airi Toyama | IMDb










November 29, 2014

Tokyo Family | Tokyo Kazoku (2013)


Tokyo Family (2013)






Shukichi Hirayama (Hashizume Isao), seorang guru yang telah pensiun beserta istrinya Tomiko (Yoshiyuki Kazoku) mengunjungi anak-anak mereka di Tokyo. Putra sulung mereka Koichi (Nishimura Masahiko) mendirikan sebuah klinik di rumahnya. Sedangkan putri mereka Shigeko (Nakajima Tomoko) membuka salon kecantikan di rumahnya. Yang terakhir, si bungsu Shoji (Tsumabuki Satoshi) bekerja di stage art. Karena kesibukan masing-masing, anak-anak mereka menyuruh mereka beristirahat dan memanjakan diri di sebuah hotel, namun sebenarnya bukan itu yang mereka inginkan. Hingga akhirnya Tomiko mengunjungi apartemen Shuji dan dikenalkan dengan Noriko (Aoi Yu), kekasih Shuji. Namun sepulang dari kediaman Shoji, Tomiko tiba-tiba jatuh pingsan di rumah Koichi.

Hmm.. sebenarnya saya sama sekali nggak berniat menonton remake dari Tokyo Monogatari (1953) ini awalnya. Tapi, berhubung saya tiba-tiba suka banget sama salah satu pemainnya: Tsumabuki Satoshi, saya akhirnya pun ingin mencicipi film ini. Tokyo Monogatari sendiri merupakan salah satu film favorit saya sepanjang masa yang ceritanya tak kan pernah lekang dimakan jaman. Dan sejujurnya saya sama sekali tak mengharapkan film tersebut diremake. Namun apa yang dilakukan oleh Yamada bukanlah hal jelek. Saya anggap remake ini sebagai bentuk penghormatan seorang Yamada pada salah satu sutradara hebat di dunia ini, Yosujiro Ozu. Selain itu mungkin bisa jadi sarana promosi yang bagus untuk mengenalkan sebuah film bagus di masa lalu pada generasi sekarang melalui remakenya ini. Yeah.. itu karena tak semua orang suka menonton film lawas kendati bagus sekalipun. Namun, sangat disayangkan juga jika harus menonton remake film ini duluan ketimbang yang asli.

Untuk ukuran sebuah remake, Tokyo Kazoku masuk dalam kategori cukup bagus. Beberapa hal memang dirubah, disesuaikan dengan jaman sekarang namun sisanya persis sama dengan versi aslinya. Perubahan terjadi pada karakternya, dimana ditampilkan karakter putra bungsu (versi asli karakter tersebut meninggal dalam perang) dan tidak ada lagi karakter menantu melainkan digantikan oleh karakter kekasih dari putra bungsu. Selain itu penyesuaian juga berlaku pada perubahan jaman dimana ditampilkan adegan penggunaan GPS, telepon selular, shinkansen (bullet train), dan ada juga disebutkan tentang tsunami dan gempa bumi di Fukushima. Namun begitu, tetap saja ada hal yang tak pernah berubah selama 60 tahun ini, bahwa anak-anak memang terlalu sibuk dengan diri mereka sendiri (keluarganya) dan pekerjaan mereka sehingga mereka tak punya waktu untuk menyenangkan orang tua mereka yang datang jauh-jauh dari desa mengunjungi mereka. Itulah mengapa film ini menjadi pengingat betapa pentingnya ikatan keluarga yang semakin terkikis seiring perkembangan jaman dan bagaimana untuk berinteraksi dan saling memahami satu sama lain dalam keluarga.

Tak seperti versi aslinya dimana karakter Shukichi dan Tomiko benar-benar sangat loveable bagi saya dan menjadi karakter favorit saya, di versi remake ini saya hanya jatuh cinta dengan karakter Tomiko yang begitu bagus diperankan oleh Yoshiyuki Kazuko. Karakter Shukichi entah kenapa kurang terasa membekas dalam benak saya. Yeah, mungkin karena  Chishu Ryu memerankan karakter tersebut lebih bagus berkali-kali lipat dibanding Hashizume Isao. Chishu Ryu membuat karakter Shukichi loveable, berkebalikan dengan Hashizume yang malah membuat karakter Shukichi jadi terlihat menyebalkan. Lalu bagaimana dengan Setsuko Hara dan Aoi Yu? Hmm.. tak bisa membandingkan kedua aktris tersebut karena bagaimana pun Setsuko Hara adalah aktris yang memang sangat luar biasa karismanya, membuat siapa pun pasti akan jatuh hati padanya. Namun Aoi Yu juga tidak buruk. Yu termasuk salah satu aktris Jepang favorit saya dan saya rasa dia cukup sukses memerankan karakter Noriko dengan baik. Karismanya memang belum sehebat Hara namun tak bisa dipungkiri kehadirannya mampu membuat film ini terasa hidup. Dan Tsumabuki Satoshi pun cukup sukses memerankan karakter Shoji sebagai putra bungsu yang baik hati tanpa pekerjaan yang pasti untuk masa depannya. Dan saya cukup senang Yu dan Satoshi dipasangkan sebagai kekasih dalam film ini.

Jika anda penggemar Ozu, tak ada salahnya mencoba menonton versi remake ini. Dan jika anda belum pernah menonton Tokyo Monogatari, segeralah tonton, jangan tunda-tunda lagi! Setelah itu lanjutkan dengan menonton Tokyo Kazoku ini.

 
 





Title: Tokyo Family / Tokyo Kazoku /  東京家族 | Genre: Drama | Director: Yōji Yamada  | Music: Joe Hisaishi  | Release dates: January 19, 2013 | Running time: 146 minutes | Country: Japan | Language: Japanese | Cast: Isao Hashizume, Kazuko Yoshiyuki, Masahiko Nishimura, Tomoko Nakajima, Satoshi Tsumabuki, Yui Natsukawa, Yū Aoi  | IMDb












November 03, 2014

Tamako in Moratorium | Moratoriamu Tamako (2013)

Tamako in Moratorium (2013)







Tamako (Maeda Atsuko) yang baru lulus kuliah di Tokyo kembali ke kampung halamannya di Kofu. Dia hanya tinggal berdua dengan ayahnya (Kan Suon) yang mengelola toko olahraga. Bukannya melamar pekerjaan atau membantu sang ayah menjaga toko, Tamako malah menghabiskan waktunya di rumah dengan makan, tidur, menonton televisi, membaca manga dan bermain video games setiap harinya hingga empat musim berlalu begitu saja. 

Bagaimana? Kedengarannya premisnya tidak menarik sama sekali?  Apalagi sesuai judulnya, film ini memang menggambarkan 'moratorium' seorang Tamako yang tampak tidak tertarik sama sekali dengan kehidupan normal seperti yang dijalani oleh gadis seumurannya. Dan memang, untuk sebagian bahkan kebanyakan orang, film ini memang tidak menarik bahkan cenderung membosankan. Pacenya pun lambat seperti kebanyakan film Jepang lainnya. Selain itu nyaris tak ada hal yang benar-benar spesial dari film ini karena kita hanya disuguhkan kehidupan Tamako dalam 'moratoriumnya'. Namun, saya pribadi entah kenapa justru menyukai film ini. Yang pertama kali terlintas di benak saya ketika menonton film ini adalah: "wah.. ini aku banget, nih ceritanya!" Ya, kisah Tamako ini memang sedang ku alami sendiri saat ini. Saya jadi tambah semangat nontonnya. Apalagi durasinya pun tidak lama, hanya 78 menit. Selain kisahnya yang 'aku banget' ini, saya suka sekali dengan alurnya, settingnya, dan pace filmnya sendiri. Padahal pace lambat seperti ini biasanya membosankan buat saya, tapi kali ini entah kenapa saya malah sangat enjoy menontonnya. Mungkin juga karena seperti sedang menyaksikan sendiri kisah saya dalam film tersebut.

Selain kisah Tamako sendiri yang dibahas, film ini juga menyajikan kisah hubungan ayah-anak. Interaksi keduanya terkesan agak kaku dan sedikit aneh, tapi saya justru menyukainya. Karakter ayahnya yang terlihat sesekali mengomel dan marah karena kelakuan Tamako, sebenarnya sangat baik dan perhatian. Saya sedikit paham kenapa sang ayah juga terlihat masa bodoh melihat kelakuan 'ajaib' Tamako. Keduanya bahkan sebenarnya saling melengkapi satu sama lain hanya tidak disadari oleh keduanya. Selain karakter Tamako dan ayahnya, ada juga karakter lainnya seperti Hitoshi (Ito Seiya), anak SMP yang merupakan satu-satunya teman Tamako. Lucu juga melihat pertemanan keduanya. Lalu ada juga seorang wanita yang akan dijodohkan dengan ayahnya. Nah, disinilah justru terjadi momen-momen awkward yang lucu. Namun, dari sinilah terungkap perasaan yang sebenarnya antara Tamako dan ayahnya.

Tadinya sedikit meragukan Maeda Atsuko, tetapi setelah menonton film ini saya merasa dia sebenarnya bisa berakting dengan baik, hanya perlu diasah lagi supaya menjadi semakin baik. Dengan tampangnya yang terlihat 'jutek dan judes' tersebut, malah menambah nilai plus dirinya sebagai Tamako. Maeda berhasil memerankan karakter Tamako yang tak bergairah hidup ini dengan sangat baik. Kan Suon yang berperan sebagai ayah Tamako juga sangat bagus aktingnya. Chemistry yang diciptakannya dengan Maeda juga sangat baik. Terlihat jelas bahwa karakter Tamako dan ayahnya mempunyai ikatan yang kuat walaupun interaksi antar keduanya sangat jarang dan canggung.

Ya, Tamako in Moratorium ini seperti menggambarkan kehidupan para NEET (Not in Education, Employment, Training) yang semakin menjamur di Jepang sana. Hal tersebut tentu menjadi masalah yang cukup krusial bagi negara maju seperti Jepang. Mungkin kalau di negara kita, banyak ditemukan kasus seperti Tamako ini. Selain itu, mungkin juga film ini sebagai gambaran seseorang yang sama sekali tidak ingin memasuki dunia 'dewasa' (adulthood) dan masih asik menikmati masa-masa tanpa tanggung jawab besar. Sayang, tak ada solusi yang diberikan oleh sang scriptwriternya. Penonton dibiarkan mengambil jalannya sendiri atas permasalahan yang mungkin dialami seperti Tamako ini. Secara konsep cerita - terutama sesuai judulnya - memang harusnya begitu, tetapi alangkah lebih baik lagi jika diberikan alternatif solusi segala permasalahan yang ada. Saya sendiri memang mendapat sedikit pencerahan setelah menonton film ini tapi saya sebenarnya mengharapkan sekali adanya jalan keluar dari kebuntuan ini.






Title: Moratoriamu Tamako / Tamako in Moratorium / もらとりあむタマ子 | Genre: Slice of Life, Drama  | Director: Nobuhiro Yamashita | Release dates: October 2013 (Busan International Film Festival), November 23, 2013 (Japan) | Running time: 78 minutes | Country: Japan | Language: Japanese | Cast: Atsuko Maeda, Kan Suon, Ito Seiya, Tomika Yasuko | IMDb


 



November 01, 2014

Two Days, One Night | Deux Jours, Une Nuit (2014)


Two Days, One Night (2014)






"I don't Exist" - Sarah


Sandra (Marion Cotillard), ibu dua anak yang baru saja keluar dari rumah sakit akibat depresi berat, terancam kehilangan pekerjaanya sebagai karyawan di sebuah pabrik panel surya di Seraing, kota industri Liège, Belgia. Dia harus mampu meyakinkan 16 rekan kerjanya supaya melakukan voting ulang untuk memilihnya tetap bekerja dan menolak bonus 1000 euro. Dibantu oleh suaminya, Manu (Fabrizio Rongione), Sarah pun mulai mendatangi satu per satu para rekannya tersebut dalam sisa waktu dua hari satu malam sebelum penentuan nasibnya pada hari senin pagi.

Tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi, kita sebagai penonton dibiarkan bertanya-tanya cukup lama atas apa yang terjadi sebenarnya dengan karakter Sarah dalam film ini. Hingga akhirnya ketika jawabannya terkuak, disitulah dimulai fase yang menarik dalam film ini. Padahal plot ceritanya sendiri terlihat sederhana, namun semuanya tidaklah sesederhana itu. Apalagi kita tahu bahwa ini berurusan dengan masalah uang yang nominalnya tidak sedikit sehingga pasti akan ada yang tidak setuju jika bonus uang 1000 euro lenyap begitu saja.

Disinilah kita akan melihat bagaimana tanggapan para rekannya dari berbagai sudut pandang. Krisis ekonomi yang melanda Belgia tentu berdampak kuat terutama bagi masyarakat kelas menengah seperti Sarah dan rekan-rekannya. Moral mereka pun diuji dengan nominal uang yang tidak sedikit jumlahnya. Disinilah terjadi momen-momen yang kadang membuat kita tergugah, tertegun, sedih, senang bahkan momen yang tak terduga. Ada satu hal yang saya dapat dari kunjungan Sarah ke tempat para rekannya, bahwa orang baik itu masih ada di dunia ini. Namun bukan berarti saya mengatakan bahwa yang menolak adalah orang jahat! Tidak! Bagaimana pun kita harus melihatnya dari berbagai sudut pandang yang berbeda dan menempatkan diri kita di posisi tiap individunya. Mereka yang menolak jelas punya alasan kuat yang dapat ditolerir.

Beberapa adegan yang ditampilkan dalam film ini memang terlihat repetitif, namun emosi kita sebagai penonton sukses diacak-acak oleh Luc Dardenne dan Jean-Pierre Dardenne. Kerennya lagi, 'petualangan' mendatangi tiap rumah memberikan sensasi yang luar biasa padahal adegannya begitu sederhana dan sangat natural. Namun  apapun jawaban dari para rekannya seolah membuat saya tidak peduli - bahkan saya tidak peduli bagaimana nanti hasilnya atau endingnya - saya hanya ingin mengikuti bagaimana perkembangan cerita dalam film ini mengalir apa adanya.

Dan film ini semakin menarik dengan akting keren yang dibawakan oleh Marion Cotillard. Karakter Sarah yang begitu rapuh, memiliki kecemasan serta ketakutan yang besar dan terkena depresi berat begitu menyatu dengan diri Cotillard. Aktingnya benar-benar teruji ketika karakter Sarah terlihat ingin tegar setiap kali mendapat penolakan dari rekan-rekannya.  



Ya, Two Days One Night telah mengajarkan kita bahwa perjuangan keras pasti akan membuahkan hasil, apapun itu hasil akhirnya. Bahkan jika kalah sekalipun, namun sebenarnya kita justru telah menang. Jadi, jika anda penyuka film drama tanpa kisah sentimentil yang berlebihan, film ini sangat wajib ditonton. Bahkan tanpa scoring sekalipun, anda akan terhanyut ke dalam ceritanya yang begitu real dan mungkin saja terjadi pada diri kita sendiri atau orang-orang di sekitar kita.






Title: Two Days, One Night / Deux Jours, Une Nuit | Genre: Drama | Director: Luc Dardenne, Jean-Pierre Dardenne | Release date: 20 May 2014 (Cannes), 21 May 2014 (Belgium & France) | Running time: 95 minutes | Country: Belgium, Italy, France | Language: French | Cast: Marion Cotillard, Fabrizio Rongione, Olivier Gourmet | IMDb | Rotten Tomatoes




 






October 24, 2014

Judge! | Jajji! (2014)



Judge! (2014)


"I want to make ads that make everyone happy.”




Setelah disalahkan karena iklan buatannya gagal, Ota Kiichiro (Tsumabuki Satoshi) disuruh bosnya yang arogan Otaki Ichiro (Toyokawa Etsushi) untuk menggantikannya menjadi juri di kompetisi iklan terbesar di dunia di Santa Monica. Dia diancam akan dipecat jika tidak berhasil memjadikan iklan buatan seorang putra dari investor kaya menang dalam kompetisi tersebut. Ota yang sama sekali tidak fasih berbahasa Inggris, berguru pada seorang karyawan veteran di perusahaannya, Kagami (Franky Lily). Ditemani rekan kerjanya, Hikari (Kitagawa Keiko), Ota pun berangkat ke California.

Alasan utama menonton film ini karena Tsumabuki Satoshi. Alasan kedua karena genrenya komedi. Sisanya, I don't really care! Ya, saya memang lagi ingin menonton film komedi karena ternyata belakangan ini nyaris tak pernah menonton genre tersebut. Nah, untuk ukuran sebuah film komedi, menurut saya film ini cukup lucu juga! At least, saya berhasil ketawa ngakak di beberapa adegannya. Komedi yang ditampilkan disini merupakan percampuran dari lelucon konyol, sindiran, satir, culture clash, dan slapstick. Salah satunya bisa terlihat dari adegan yang menunjukkan stereotypes orang asing tentang orang Jepang itu sendiri seperti karate, geisha dan otaku. Kalau dari alur ceritanya sendiri, sih udah ketebak banget - apalagi endingnya. Tapi namanya juga komedi, ya maklum ajalah! Toh, poin utama sebuah film komedi, kan harus berhasil membuat penontonnya tertawa, dan saya rasa film ini berhasil (setidaknya pada diri saya).

Karakter Ota Kiichiro sendiri udah cukup bikin ketawa. Ditambah lagi karakter bossnya, Kagami yang eksentrik dan tentu saja beberapa juri festival iklannya terutama juri dari Thailand yang bahkan wajahnya saja sudah sukses mengundang ketawa; persis seperti wajah yang sering dijadiin bulan-bulanan di sosmed atau forum dalam negeri. Otomatis akting Tsumabuki Satoshi berhasil memerankan Ota karena jika karakternya sendiri nggak berhasil mengundang tawa (saya), maka saya anggap dia gagal. Namun, Ota bukanlah karakter favorit saya disini. Kagami-lah yang sangat sukses membuat saya terpingkal-pingkal dengan kelakuan dan saran anehnya untuk Ota. Karakter Kagami yang eksentrik tersebut memang menjadi karakter yang akan sulit dilupakan. Dan karakter tersebut dimainkan dengan sangat apik oleh om Franky Lily. Om yang satu ini entah kenapa kalau main film, biasanya pasti filmnya bagus dan aktingnya selalu berkesan. Tapi bukan hanya karakter Kagami saja yang saya suka. Saya juga suka dengan karakter boss Ota, Ichiro Otaki yang minimal sukses bikin senyum-senyum. Paling suka adegan waktu dia berpura-pura jadi voice mail. Dan seperti halnya Franky Lily, Toyokawa Etsushi pun bermain dengan sangat cemerlang di sini. Sayang, porsi kedua aktor hebat tersebut tidak begitu banyak.

Penampilan lainnya yang juga cukup bagus ditampilkan oleh Suzuki Kyota, Arakawa YosiYosi, aktor veteran Amerika James C. Burns, dan komedian Australia Chad Mullane. Tak ketinggalan beberapa cameo yang juga cukup mencuri perhatian seperti Denden, Ryo Kase dan Takenata Naoto. Sayangnya, Kitagawa Keiko yang harusnya impresif malah keliatan flat di mata saya. Aktingnya tak ada kemajuan dari dulu. Bahkan saya sama sekali tidak merasakan adanya chemisty antara Keiko dan Satoshi (entah siapa yang salah dalam hal chemistry ini!). Poin plusnya hanyalah pronounciation-nya yang terdengar fasih mengucapkan kalimat dalam bahasa Inggris. Tapi bagi saya bonus lainnya selain bisa melihat wajah kakkoi (tampan) seorang Tsumabuki Satoshi, saya juga dapat kejutan menyaksikan penampilan si kakkoi Tamayama Tetsuji; walau perannya sedikit. Lumayan bisa cuci mata!.

Oh, ya iklan yang ditampilkan dalam film ini sayangnya nggak ditampilkan secara utuh - kecuali iklan dari perwakilan jepang sendiri - padahal keliatannya iklan-iklan tersebut menarik (walaupun ada juga beberapa yang terlihat berlebihan dan maksa). Dan sepertinya iklan-iklan yang ditampilkan dalam film ini sengaja dibuat khusus hanya untuk film ini. Walau pun begitu, iklan toyotanya sendiri cukup unik dan menarik menurut saya (bukan promosi, loh!). Dan satu hal yang saya dapat dari film ini bahwa ternyata industri periklanan tak beda dengan lainnya, dimana orang-orang yang terlibat di dalamnya bisa saling menikam satu sama lain; lawan menjadi kawan begitu juga sebaliknya. Akhirnya, buat yang lagi banyak tugas, stress, galau, putus cinta dan butuh tontonan ringan dan segar, mungkin bisa mencoba untuk menonton film ini. Minimal bisa tersenyum dikitlah dan syukur-syukur bisa tertawa dan terhibur menonton film Judge! ini. Nyaa.. nyaa...






Title: Jajji! / ジャッジ!/Judge! | Genre: Comedy | Director: Akira Nagai | Running Time: 105 minutes  | Country: Japan | Language: Japanese | Cast: Tsumabuki Satoshi, Kitagawa Keiko, Franky Lily,  Suzuki Kyoka, Toyokawa Etsushi, Arakawa YosiYosi, Tamayama Tetsuji, Kase Ryo, Denden, Takenaka Naoto  | IMDb














Translate

Waiting Lists

Sur mes lèvres.jpg Dark, brown-tinted and horror-themed image of a man in an asbestos-removal suit (to the right side of the poster), with an image of a chair (in the middle of the image) and an image of a large castle-like building at the top of the image. The text "Session 9" is emboldened in white text in the middle of the image, and near the bottom of the image is written, "Fear is a place." Lisbeth Salander with Mikael Blomkvist The Girl Who Played with Fire.jpg Page turner.jpg Le trou becker poster3.jpg Nightwatch-1994-poster.jpg Headhunter poster.jpg On the Job Philippine theatrical poster.jpg The Song of Sparrows, 2008 film.jpg The-vanishing-1988-poster.jpg Three Monkeys VideoCover.png