March 30, 2012

Rumah Tanpa Jendela (2011)




Rumah Tanpa Jendela (2011)







 
Rara (Dwi Tasya), seorang gadis kecil berusia 8 tahun sangat ingin punya jendela di rumahnya yang kecil berdinding tripleks bekas di sebuah perkampungan kumuh tempat para pemulung tinggal di Menteng Pulo, Jakarta. Rara tinggal bersama si Mbok (Ingrid Widjanarko), neneknya yang sakit-sakitan dan ayahnya Raga (Rafi Ahmad) yang berjualan ikan hias dan tukang sol sepatu. Dengan kondisi yang jauh dari kata baik, tentu saja untuk membeli sebuah jendela adalah hal yang sulit. Secara tidak sengaja, Rara berteman dengan Aldo (Emir Mahira) yang kehidupannya berbanding terbalik dengan Rara.


Setelah tahun 2009 memuaskan penonton dengan Emak Ingin Naik Haji, kali ini Aditya Gumay menggarap lagi film dengan tema anak-anak. Dengan disisipkannya beberapa scene menyanyi ala film musikal, film ini masih tanggung untuk dikatakan film musikal. Tidak konsisten, karena hanya ditampilkan di awal saja.


Berbicara soal akting, Emir Mahira yang berperan sebagai Aldo, patut diacungin jempol dengan aktingnya yang memukau memerankan sosok Aldo yang kurang sempurna. Bahkan buat yang tidak tahu, mungkin akan menganggap Emir benar-benar anak berkebutuhan khusus. Gesture dan gaya bicaranya pas sekali memerankan sosok anak berkebutuhan khusus itu. Sedangkan lawan mainnya, Dwi Tasya juga bagus sekali memerankan Rara yang polos, optimis, dan ceria.


Akting memukau lainnya ditampilkan oleh pemeran utama Emak Ingin Naik Haji, Aty Cancer Zein yang berperan sebagai nenek Aldo. Tak ketinggalan pemeran lain seperti keluarga Aldo pun mampu berperan baik sebagai ayah, ibu, kakak dan abang Aldo. Pemeran teman-teman Rara yang berasal dari Sanggar Ananda juga bagus memerankan para anak jalanan. Yang sedikit mengganggu dan tidak cocok adalah Raffi Ahmad yang walaupun berperan sebagai bapak Rara - lengkap dengan kumis dan jenggot - tetap kelihatan gaya anak mudanya dan tidak cocok sebagai orang miskin. Dan entah sengaja atau tidak, ada juga Yuni Shara yang berperan sebagai Bude Rara.


Secara keseluruhan, ceritanya cukup bagus walaupun masih banyak kekurangan disana-sini. Seperti scene ketika rumah Rara kebakaran, hanya sekedar asal lewat saja tanpa dieksekusi lebih. Ada juga scene yang sepertinya tidak penting dan terkesan maksa untuk dimasukkan, seperti menampilkan sekolah dasar Obama (entah apa maksudnya?). Memang, sih ada pesannya, tapi apa harus sekolah dasar Obama yang dipake? Yah, kalo diambil segi positifnya, sih supaya kita tetap berpikir positif dan terus bermimpi karena suatu hari nanti siapa tahu kita akan jadi orang hebat kayak Obama (?).


Terlepas dari semua kekurangan yang ada, film ini patut diacungin jempol karena hadir dari sineas negeri ini yang peduli akan film dalam negeri dengan cerita yang sederhana namun tetap bagus. Bravo!!






 




L'innocente (1976)


L'innocente (1976)
The Innocent





 



Tullio Hermil (Giancarlo Giannini) yang seorang aristokrat mempunyai affair dengan seorang janda bernama Teresa Raffo (Jennifer O'Neill) dan hal tersebut sudah menjadi rahasia umum. Bahkan istrinya Giuliana (Laura Antonelli) tidak menyangkalnya dan menerimanya. Namun, dalam kesendirian dan kesedihannya, Giuliana tidak dapat menyangkal karisma dari seorang penulis bernama Filippo d' Arborio (Marc Porel) yang merupakan kenalan iparnya. Tullio akhirnya menyadari bahwa istrinya mempunyai affair dengan sang penulis dan berusaha keras untuk merebutnya kembali. Dan di hari reuni mereka kembali sebagai suami istri, Guiliana hamil.

 

L'innocente yang dirilis tahun 1976 ini disutradarai oleh Sutradara terkenal Italia Luchino Visconti. Film ini berdasarkan novel karangan Gabriele d'Annunzio 1892. Dengan durasi yang cukup panjang yaitu 125 menit seperti layaknya film-film klasik, film ini pun sedikit membosankan di awal. Bahkan kita akan dibuat bertanya-tanya, apa dan mengapa dikasi judul L'innocente (Innocent). Namun, seiring berjalannya waktu hingga menjelang ending dan mencapai klimaks, barulah kita sadar kalau judul itu memang tepat diberikan.


Untuk bagian akting, para pemainnya menampilka performa yang maksimal khususnya Giancarlo Giannini yang sangat bagus memerankan seorang Tullio. Jennifer O'Neill pun sangat cocok berperan sebagai janda 'genit' dengan kharisma dan penampilannya yang 'wah'. Tentu saja, lelaki mana yang tidak tergoda olehnya. Apalagi jika melihat istri Tullio sendiri, Giuliana, yang berperawakan lembut dan terlihat sedikit lemah, kontras dengan sosok Teresa. Dan tentu saja, karakter pasrah Giuliana dimainkan dengan apik oleh Laura Antonelli.



Untuk urusan kostum dan setting, patut diacungin jempol. Kita akan dimanjakan oleh kostum orang-orang aristokrat nan eksotik. Walaupun terlihat sangat merepotkan memakainya - khususnya kostum para wanita - tapi terlihat sangat indah dan unik. Dandanan yang minimalis dipadukan dengan tatanan rambut dengan kesan anggun menambah nilai plus untuk karakter para wanita di film ini. Segala hal yang klasik pun akan kita temui di film ini.

 

So, film klasik ini layak untuk ditonton dan mungkin akan menjadi film favorit sebagian orang. Jelas, kita akan disajikan ending yang membuat sedikit 'shock' dan akan terus mengingatnya. Inilah buah karya terakhir Visconti sebelum beliau wafat.

 






 




March 28, 2012

Poetry (2010)



Poetry (2010)
Shi




 



Agnes's song

“…daughter,
How is it over there?
Is it still glowing red at sunset?
Are the birds still singing on the way to the forest?
Can I convey the confession I dared not make?
Now it is time to say goodbye,
Like the wind that lingers and then goes.”
(Agnes replies) “Goodbye to the grass kissing my weary ankles.
I pray nobody should cry.
I bless you before crossing the black river.
I’m beginning to dream of a bright sunny morning,
The wild flower shyly turning away.
How deeply I loved.
I am beginning to dream a bright sunny time…
And to meet you,
Standing beside me.”





Yang Mija (Yoon Jeong-hee), seorang wanita tua berusia 60 tahun lebih, sehari-harinya bekerja paruh waktu sebagai perawat seorang pria lansia. Walaupun mendapat tunjangan dari pemerintah, namun belum cukup untuk menghidupinya beserta cucunya, Jong Wook (David Lee), yang tinggal bersamanya karena dititipkan oleh ibunya. Kesehariannya semakin bertambah sulit ketika ia kemudian didiagnosa penyakit Alzheimer pada stadium awal, yang lama kelamaan akan bertambah parah. Belum lagi dengan sebuah kejadian tewasnya seorang siswi sekolah yang ternyata memiliki sangkut paut dengan cucunya. Namun, di tengah masalah yang menimpanya, Mija mengikuti sebuah kursus penulisan puisi untuk membantunya menghadapi segala musibah tersebut dan memberinya kekuatan untuk bertahan.




Dengan alur yang lamban dan durasi yang lebih dari dua jam, bahkan tanpa aktor atau aktris yang good-looking, mungkin buat sebagian orang, film ini akan terasa membosankan dan terkesan berat. Apalagi berkisah tentang hidup seorang nenek (yang jelas sudah tidak good-looking lagi) yang hanya tinggal dengan cucunya yang memasuki masa 'bandelnya' khas remaja, semakin terlihat tidak menarik. Tapi jangan salah, justru film ini tidak menyajikan jajaran pemain yang hanya bermodal tampang dengan akting pas-pasan (bisa juga dikatakan tidak bisa berakting) atau cerita yang dangkal. Poetry menyajikan sebaliknya. Diramu dengan jalan cerita yang bagus dan dengan naskah dialog yang bagus juga, film ini akan membuat kita betah untuk menontonnya.



Apalagi jika menyaksikan kisah hidup sang nenek, Mija, yang sangat baik diperankan oleh aktris kawakan Korea Yoon Jeong-hee, kita akan terbawa suasana yang diciptakannya. Di satu sisi, kita akan merasa sangat kasihan akan kepedihan yang dialaminya, tapi di sisi lain kita justru bangga dan salut akan perjuangannya dan sifat pantang menyerahnya. Perawakan dan gayanya yang modis dengan selalu memakai topi membuat kita semakin menyukai karakter Mija.





Sayangnya, walau cerita terfokus pada karakter sang nenek, beberapa elemen dan karakter lain seperti terasa terlupakan. Misalnya tentang cucunya, Wok yang terlibat kasus, entah kenapa tidak ditampilkan scene dimana Mija seharusnya bertanya lebih dalam tentang kasus tersebut pada Wok. Entah memang sengaja ditampilkan ngambang begitu, atau karena begitu banyaknya beban Mija, sehingga penonton diharapkan berpikir dengan cara mereka sendiri, bagaimana dan apa yang terjadi terserah pada persepsi masing-masing. Begitu pun dengan kelas puisi yang tidak ditampilkan secara mendetail, walaupun beberapa ilmu dapat diperoleh seperti basic untuk membuat puisi beserta elemen-elemen yang penting untuk membuat puisi.



Tapi jangan takut, puisi yang ditampilkan cukup menarik dan mungkin bisa menginspirasi. Terutama puisi di akhir cerita yang penuh dengan perasaan sedih, kesepian, ketakutan bahkan impian. Ada satu scene yang sangat memorable buatku yaitu ketika Mija bercerita tentang suatu hal yang paling mengesankan dalam hidupnya. Hal yang mengesankan itu ternyata hanyalah ingatan sederhana tentang masa kecilnya bersama kakaknya.Ya, itulah Mija, yang terlihat begitu kuat di dalam, namun ternyata sangat rapuh di luar. 




 
  




March 21, 2012

3 Hati Dua Dunia, Satu Cinta (2010)

3 Hati Dua Dunia, Satu Cinta (2010)







“yang seagama aja berat, apalagi beda”


Rosid (Reza Rahadian), seorang penyair muslim muda berambut kribo yang terobsesi dengan WS Rendra, mengalami konflik dengan ayahnya, Mansur (Rasyid Karim) karena ayahnya menginginkan anaknya untuk memakai peci. Ayahnya menganggap peci adalah salah satu lambang kesetiaannya bagi agama. Sedangkan Rosid beranggapan bahwa peci hanyalah salah satu dari lambang tradisi keagamaan para leluhurnya dan Rosid tidak ingin mencampur-baurkan agamanya dengan tradisi-tradisi leluhur layaknya peci tersebut. Maka dari itu, sang ibu yang penyabar, Muzna (Henidar Amroe), mencoba untuk menengahkan konflik antara Rosid dengan Ayahnya. Belum selesai masalahnya dengan sang ayah, ditambah lagi dengan masalah yang ia alami dengan kekasihnya, seorang gadis Katolik kaya raya, Delia (Laura Basuki) yang terhalang tebalnya dinding perbedaan keyakinan. Akhirnya, orang tuanya memutuskan untuk menjodohkan Rosid dengan seorang gadis muslimah, Nabila (Arumi Bachsin).


 

Mengangkat tema tentang perbedaan keyakinan kembali disuguhkan dalam film buatan anak negeri ini. Sebelumnya dalam film independen, tema seperti ini telah diangkat dalam film Cin(t)a. Namun tidak seperti Cin(t)a yang berat, 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta menampilkan cerita yang lebih ringan, dibalut dengan sedikit bumbu komedi dan terkesan sangat humanis sesuai dengan realita yang sebenarnya. Kita tidak akan mendapatkan gambaran tentang glamournya atau kumuhnya ibu kota di film ini, melainkan suasana yang asli seperti layaknya kehidupan para tokohnya.

 

Akting Reza Rahadian memang bagus tapi sepertinya masih kurang maksimal untuk memerankan tokoh Rosid. Begitu pun dengan Laura Basuki yang berperan sebagai Delia, terlihat masih jaga image. Yang semakin tidak enak dilihat adalah aktingnya Arumi Bachsin yang berperan sebagai gadis berkerudung yang santun, tetap saja tidak menampakkan karakter Nabila yang lembut dan manis, disamping memang porsinya tidak banyak di film ini. Justru penampilan yang memukau didapat dari para pemain pendukung seperti Henidar Amroe yang sangat bagus memerankan sosok ibu Rosid yang penyayang, lembut, kuat dan tidak pernah melupakan kewajibannya sebagai seorang istri yang taat suami. Begitu juga dengan Rasyid Karim yang berperan sebagai abah Rosid yang kolot dan keras tapi sebenarnya amat menyayangi keluarganya.

 

Sayangnya, ada beberapa kekurangan yang amat sangat mengganggu dalam film ini. Contohnya ketika adegan Rosid yang kabur dari rumah di tengah hujan deras. Kenapa seperti kebetulan yang disengaja ketika adegan mengharukan seperti itu turun hujan seolah-olah bumi pun menangis dengan kepergian Rosid. Belum lagi ketika Rosid dan Delia di danau selesai berbicara tentang masa depan mereka, kenapa mendadak turun hujan lagi? Hal-hal seperti itu jadi mengingatkan adegan yang ada di sinetron. Walaupun adegan mengharukan sekalipun, tidak semestinya harus dengan membuat adegan turun hujan. Jujur saja, adegan yang tadinya sudah bagus, jadi terasa hampa dan garing karena terkesan dipaksakan seperti itu.

 

Selain itu, eksekusi endingnya sepertinya kurang berani. Mungkin mengambil jalan yang 'aman' agar setiap penonton bisa mengambil kesimpulan tersendiri dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul di film ini. Tema tentang pernikahan beda agama memang sesuatu yang sensitif, sehingga semua keputusan memang kembali ke orang yang menjalaninya sendiri. Seperti mengutip ucapan dari Delia, "Apa gunanya, ya kita bahagia jika akhirnya harus membuat sedih orang-orang di sekitar kita?”

Ya, film ini memang masih mempunyai kekurangan disana-sini, namun dengan mengangkat tema sensitif seperti ini, kita patut mengacungi jempol dan berdoa semoga ke depannya akan hadir film-film dalam negeri yang berkualitas dan bagus seperti film ini.











One Flew Over the Cuckoo's Nest (1975)


One Flew Over the Cuckoo's Nest (1975)




 



Tahun 1963, Randle McMurphy (Jack Nicholson) yang memperkosa gadis dibawah umur, dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa demi memperbaiki kelakuan juga kesehatan mentalnya. Namun sebenarnya McMurphy tidak gila sama sekali. Dia hanya menghindari tugas bekerja di penjara. Di Rumah sakit jiwa tersebut, dia justru melakukan kegilaan-kegilaan dengan teman-temannya yang sakit jiwa dan mereka sangat menikmati kegilaan itu sendiri. Sayangnya, mereka kerap kali harus berhadapan dengan suster Ratched (Louise Fletcher) yang sangat otoriter dan memiliki kekuasaan penuh di rumah sakit jiwa tersebut.



Satu lagi film klasik yang sayang untuk dilewatkan. Dengan durasi ala film klasik yaitu 133 minutes kita akan dibuat tertawa atau minimal tersenyum melihat tingkah polah para pasien di rumah sakit jiwa tersebut. Bagaimana mereka - dengan dipimpin oleh McMurphy - acapkali menentang suster Ratched dalam berbagai hal. Ada saja ide dan ulah iseng McMurphy untuk menggoda sang suster tersebut beserta staff rumah sakit jiwa lainnya. Belum lagi ketika kita disuguhkan karakter para pasien yang lainnya, yang membuat kita mungkin akan ikutan 'sedikit gila'. Ada Dale Harding (William Redfield), yang dikhianati istrinya namun adalah sosok yang cukup pintar, "Chief" Bromden (Will Sampson), Indian yang berbadan tegap dan besar namun bisu dan tuli. Billy Bibbit (Brad Dourif) yang selalu gelisah, pemalu, berkata terbata-bata dan takut pada ibunya,  Charlie Cheswick (Sydney Lassick) yang hanya sibuk dengan rokoknya dan tidak percaya diri, si pendek Martini (Danny DeVito) atau si trouble-maker Max Taber (Christoper Lloyd).


Banyak dialog-dialog cerdas dan membuat kita tersenyum ketika mendengarnya. Dan dialog-dialog tersebut dilontarkan oleh orang-orang yang sakit jiwa. Kadang jadi terpikir kalau orang sakit jiwa itu sebenarnya justru lebih cerdas dari orang normal. Jack Nicholson mampu menghidupkan karakter McMurphy dengan sangat bagus. Dengan ide-ide jeniusnya, dia selalu sukses menghibur dan membuat senang teman-teman 'sakit jiwa'-nya. Bayangkan, dia bisa sukses membawa kabur teman-temannya untuk pergi naik kapal sambil memancing. Atau membuat pesta di malam terakhir dia di rumah sakit jiwa tersebut. Bahkan sukses membuat Billy merasakan 'nikmat dunia' yang sebenarnya.

 

Para pemain yang berperan sebagai pasien sakit jiwa pun total memerankan peran mereka masing-masing seperti layaknya orang sakit jiwa beneran. Beberapa karakter seperti Billy, Chief atau Cheswick cukup menarik perhatian disamping karakter McMurphy. Dan yang tak kalah menarik perhatian adalah karakter suster Ratched yang diperankan oleh Louise Fletcher, terlihat sangat otoriter dan berkuasa. Sama sekali tidak ada senyum diwajahnya yang selalu serius.

 

Banyak hal yang bisa kita pelajari dan kita ambil dari film ini. Tidak salah jika film ini memenangkan lima penghargaan di Academy Award untuk Best Picture, Actor in Lead Role, Actress in Lead Role, Director, dan Screenplay. Film yang diadaptasi dari novel berjudul sama karangan Ken Kesey .ini memang wajib untuk ditonton.












Translate

Waiting Lists

Sur mes lèvres.jpg Dark, brown-tinted and horror-themed image of a man in an asbestos-removal suit (to the right side of the poster), with an image of a chair (in the middle of the image) and an image of a large castle-like building at the top of the image. The text "Session 9" is emboldened in white text in the middle of the image, and near the bottom of the image is written, "Fear is a place." Lisbeth Salander with Mikael Blomkvist The Girl Who Played with Fire.jpg Page turner.jpg Le trou becker poster3.jpg Nightwatch-1994-poster.jpg Headhunter poster.jpg On the Job Philippine theatrical poster.jpg The Song of Sparrows, 2008 film.jpg The-vanishing-1988-poster.jpg Three Monkeys VideoCover.png