November 29, 2014

Tokyo Family | Tokyo Kazoku (2013)


Tokyo Family (2013)






Shukichi Hirayama (Hashizume Isao), seorang guru yang telah pensiun beserta istrinya Tomiko (Yoshiyuki Kazoku) mengunjungi anak-anak mereka di Tokyo. Putra sulung mereka Koichi (Nishimura Masahiko) mendirikan sebuah klinik di rumahnya. Sedangkan putri mereka Shigeko (Nakajima Tomoko) membuka salon kecantikan di rumahnya. Yang terakhir, si bungsu Shoji (Tsumabuki Satoshi) bekerja di stage art. Karena kesibukan masing-masing, anak-anak mereka menyuruh mereka beristirahat dan memanjakan diri di sebuah hotel, namun sebenarnya bukan itu yang mereka inginkan. Hingga akhirnya Tomiko mengunjungi apartemen Shuji dan dikenalkan dengan Noriko (Aoi Yu), kekasih Shuji. Namun sepulang dari kediaman Shoji, Tomiko tiba-tiba jatuh pingsan di rumah Koichi.

Hmm.. sebenarnya saya sama sekali nggak berniat menonton remake dari Tokyo Monogatari (1953) ini awalnya. Tapi, berhubung saya tiba-tiba suka banget sama salah satu pemainnya: Tsumabuki Satoshi, saya akhirnya pun ingin mencicipi film ini. Tokyo Monogatari sendiri merupakan salah satu film favorit saya sepanjang masa yang ceritanya tak kan pernah lekang dimakan jaman. Dan sejujurnya saya sama sekali tak mengharapkan film tersebut diremake. Namun apa yang dilakukan oleh Yamada bukanlah hal jelek. Saya anggap remake ini sebagai bentuk penghormatan seorang Yamada pada salah satu sutradara hebat di dunia ini, Yosujiro Ozu. Selain itu mungkin bisa jadi sarana promosi yang bagus untuk mengenalkan sebuah film bagus di masa lalu pada generasi sekarang melalui remakenya ini. Yeah.. itu karena tak semua orang suka menonton film lawas kendati bagus sekalipun. Namun, sangat disayangkan juga jika harus menonton remake film ini duluan ketimbang yang asli.

Untuk ukuran sebuah remake, Tokyo Kazoku masuk dalam kategori cukup bagus. Beberapa hal memang dirubah, disesuaikan dengan jaman sekarang namun sisanya persis sama dengan versi aslinya. Perubahan terjadi pada karakternya, dimana ditampilkan karakter putra bungsu (versi asli karakter tersebut meninggal dalam perang) dan tidak ada lagi karakter menantu melainkan digantikan oleh karakter kekasih dari putra bungsu. Selain itu penyesuaian juga berlaku pada perubahan jaman dimana ditampilkan adegan penggunaan GPS, telepon selular, shinkansen (bullet train), dan ada juga disebutkan tentang tsunami dan gempa bumi di Fukushima. Namun begitu, tetap saja ada hal yang tak pernah berubah selama 60 tahun ini, bahwa anak-anak memang terlalu sibuk dengan diri mereka sendiri (keluarganya) dan pekerjaan mereka sehingga mereka tak punya waktu untuk menyenangkan orang tua mereka yang datang jauh-jauh dari desa mengunjungi mereka. Itulah mengapa film ini menjadi pengingat betapa pentingnya ikatan keluarga yang semakin terkikis seiring perkembangan jaman dan bagaimana untuk berinteraksi dan saling memahami satu sama lain dalam keluarga.

Tak seperti versi aslinya dimana karakter Shukichi dan Tomiko benar-benar sangat loveable bagi saya dan menjadi karakter favorit saya, di versi remake ini saya hanya jatuh cinta dengan karakter Tomiko yang begitu bagus diperankan oleh Yoshiyuki Kazuko. Karakter Shukichi entah kenapa kurang terasa membekas dalam benak saya. Yeah, mungkin karena  Chishu Ryu memerankan karakter tersebut lebih bagus berkali-kali lipat dibanding Hashizume Isao. Chishu Ryu membuat karakter Shukichi loveable, berkebalikan dengan Hashizume yang malah membuat karakter Shukichi jadi terlihat menyebalkan. Lalu bagaimana dengan Setsuko Hara dan Aoi Yu? Hmm.. tak bisa membandingkan kedua aktris tersebut karena bagaimana pun Setsuko Hara adalah aktris yang memang sangat luar biasa karismanya, membuat siapa pun pasti akan jatuh hati padanya. Namun Aoi Yu juga tidak buruk. Yu termasuk salah satu aktris Jepang favorit saya dan saya rasa dia cukup sukses memerankan karakter Noriko dengan baik. Karismanya memang belum sehebat Hara namun tak bisa dipungkiri kehadirannya mampu membuat film ini terasa hidup. Dan Tsumabuki Satoshi pun cukup sukses memerankan karakter Shoji sebagai putra bungsu yang baik hati tanpa pekerjaan yang pasti untuk masa depannya. Dan saya cukup senang Yu dan Satoshi dipasangkan sebagai kekasih dalam film ini.

Jika anda penggemar Ozu, tak ada salahnya mencoba menonton versi remake ini. Dan jika anda belum pernah menonton Tokyo Monogatari, segeralah tonton, jangan tunda-tunda lagi! Setelah itu lanjutkan dengan menonton Tokyo Kazoku ini.

 
 





Title: Tokyo Family / Tokyo Kazoku /  東京家族 | Genre: Drama | Director: Yōji Yamada  | Music: Joe Hisaishi  | Release dates: January 19, 2013 | Running time: 146 minutes | Country: Japan | Language: Japanese | Cast: Isao Hashizume, Kazuko Yoshiyuki, Masahiko Nishimura, Tomoko Nakajima, Satoshi Tsumabuki, Yui Natsukawa, Yū Aoi  | IMDb












November 03, 2014

Tamako in Moratorium | Moratoriamu Tamako (2013)

Tamako in Moratorium (2013)







Tamako (Maeda Atsuko) yang baru lulus kuliah di Tokyo kembali ke kampung halamannya di Kofu. Dia hanya tinggal berdua dengan ayahnya (Kan Suon) yang mengelola toko olahraga. Bukannya melamar pekerjaan atau membantu sang ayah menjaga toko, Tamako malah menghabiskan waktunya di rumah dengan makan, tidur, menonton televisi, membaca manga dan bermain video games setiap harinya hingga empat musim berlalu begitu saja. 

Bagaimana? Kedengarannya premisnya tidak menarik sama sekali?  Apalagi sesuai judulnya, film ini memang menggambarkan 'moratorium' seorang Tamako yang tampak tidak tertarik sama sekali dengan kehidupan normal seperti yang dijalani oleh gadis seumurannya. Dan memang, untuk sebagian bahkan kebanyakan orang, film ini memang tidak menarik bahkan cenderung membosankan. Pacenya pun lambat seperti kebanyakan film Jepang lainnya. Selain itu nyaris tak ada hal yang benar-benar spesial dari film ini karena kita hanya disuguhkan kehidupan Tamako dalam 'moratoriumnya'. Namun, saya pribadi entah kenapa justru menyukai film ini. Yang pertama kali terlintas di benak saya ketika menonton film ini adalah: "wah.. ini aku banget, nih ceritanya!" Ya, kisah Tamako ini memang sedang ku alami sendiri saat ini. Saya jadi tambah semangat nontonnya. Apalagi durasinya pun tidak lama, hanya 78 menit. Selain kisahnya yang 'aku banget' ini, saya suka sekali dengan alurnya, settingnya, dan pace filmnya sendiri. Padahal pace lambat seperti ini biasanya membosankan buat saya, tapi kali ini entah kenapa saya malah sangat enjoy menontonnya. Mungkin juga karena seperti sedang menyaksikan sendiri kisah saya dalam film tersebut.

Selain kisah Tamako sendiri yang dibahas, film ini juga menyajikan kisah hubungan ayah-anak. Interaksi keduanya terkesan agak kaku dan sedikit aneh, tapi saya justru menyukainya. Karakter ayahnya yang terlihat sesekali mengomel dan marah karena kelakuan Tamako, sebenarnya sangat baik dan perhatian. Saya sedikit paham kenapa sang ayah juga terlihat masa bodoh melihat kelakuan 'ajaib' Tamako. Keduanya bahkan sebenarnya saling melengkapi satu sama lain hanya tidak disadari oleh keduanya. Selain karakter Tamako dan ayahnya, ada juga karakter lainnya seperti Hitoshi (Ito Seiya), anak SMP yang merupakan satu-satunya teman Tamako. Lucu juga melihat pertemanan keduanya. Lalu ada juga seorang wanita yang akan dijodohkan dengan ayahnya. Nah, disinilah justru terjadi momen-momen awkward yang lucu. Namun, dari sinilah terungkap perasaan yang sebenarnya antara Tamako dan ayahnya.

Tadinya sedikit meragukan Maeda Atsuko, tetapi setelah menonton film ini saya merasa dia sebenarnya bisa berakting dengan baik, hanya perlu diasah lagi supaya menjadi semakin baik. Dengan tampangnya yang terlihat 'jutek dan judes' tersebut, malah menambah nilai plus dirinya sebagai Tamako. Maeda berhasil memerankan karakter Tamako yang tak bergairah hidup ini dengan sangat baik. Kan Suon yang berperan sebagai ayah Tamako juga sangat bagus aktingnya. Chemistry yang diciptakannya dengan Maeda juga sangat baik. Terlihat jelas bahwa karakter Tamako dan ayahnya mempunyai ikatan yang kuat walaupun interaksi antar keduanya sangat jarang dan canggung.

Ya, Tamako in Moratorium ini seperti menggambarkan kehidupan para NEET (Not in Education, Employment, Training) yang semakin menjamur di Jepang sana. Hal tersebut tentu menjadi masalah yang cukup krusial bagi negara maju seperti Jepang. Mungkin kalau di negara kita, banyak ditemukan kasus seperti Tamako ini. Selain itu, mungkin juga film ini sebagai gambaran seseorang yang sama sekali tidak ingin memasuki dunia 'dewasa' (adulthood) dan masih asik menikmati masa-masa tanpa tanggung jawab besar. Sayang, tak ada solusi yang diberikan oleh sang scriptwriternya. Penonton dibiarkan mengambil jalannya sendiri atas permasalahan yang mungkin dialami seperti Tamako ini. Secara konsep cerita - terutama sesuai judulnya - memang harusnya begitu, tetapi alangkah lebih baik lagi jika diberikan alternatif solusi segala permasalahan yang ada. Saya sendiri memang mendapat sedikit pencerahan setelah menonton film ini tapi saya sebenarnya mengharapkan sekali adanya jalan keluar dari kebuntuan ini.






Title: Moratoriamu Tamako / Tamako in Moratorium / もらとりあむタマ子 | Genre: Slice of Life, Drama  | Director: Nobuhiro Yamashita | Release dates: October 2013 (Busan International Film Festival), November 23, 2013 (Japan) | Running time: 78 minutes | Country: Japan | Language: Japanese | Cast: Atsuko Maeda, Kan Suon, Ito Seiya, Tomika Yasuko | IMDb


 



November 01, 2014

Two Days, One Night | Deux Jours, Une Nuit (2014)


Two Days, One Night (2014)






"I don't Exist" - Sarah


Sandra (Marion Cotillard), ibu dua anak yang baru saja keluar dari rumah sakit akibat depresi berat, terancam kehilangan pekerjaanya sebagai karyawan di sebuah pabrik panel surya di Seraing, kota industri Liège, Belgia. Dia harus mampu meyakinkan 16 rekan kerjanya supaya melakukan voting ulang untuk memilihnya tetap bekerja dan menolak bonus 1000 euro. Dibantu oleh suaminya, Manu (Fabrizio Rongione), Sarah pun mulai mendatangi satu per satu para rekannya tersebut dalam sisa waktu dua hari satu malam sebelum penentuan nasibnya pada hari senin pagi.

Tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi, kita sebagai penonton dibiarkan bertanya-tanya cukup lama atas apa yang terjadi sebenarnya dengan karakter Sarah dalam film ini. Hingga akhirnya ketika jawabannya terkuak, disitulah dimulai fase yang menarik dalam film ini. Padahal plot ceritanya sendiri terlihat sederhana, namun semuanya tidaklah sesederhana itu. Apalagi kita tahu bahwa ini berurusan dengan masalah uang yang nominalnya tidak sedikit sehingga pasti akan ada yang tidak setuju jika bonus uang 1000 euro lenyap begitu saja.

Disinilah kita akan melihat bagaimana tanggapan para rekannya dari berbagai sudut pandang. Krisis ekonomi yang melanda Belgia tentu berdampak kuat terutama bagi masyarakat kelas menengah seperti Sarah dan rekan-rekannya. Moral mereka pun diuji dengan nominal uang yang tidak sedikit jumlahnya. Disinilah terjadi momen-momen yang kadang membuat kita tergugah, tertegun, sedih, senang bahkan momen yang tak terduga. Ada satu hal yang saya dapat dari kunjungan Sarah ke tempat para rekannya, bahwa orang baik itu masih ada di dunia ini. Namun bukan berarti saya mengatakan bahwa yang menolak adalah orang jahat! Tidak! Bagaimana pun kita harus melihatnya dari berbagai sudut pandang yang berbeda dan menempatkan diri kita di posisi tiap individunya. Mereka yang menolak jelas punya alasan kuat yang dapat ditolerir.

Beberapa adegan yang ditampilkan dalam film ini memang terlihat repetitif, namun emosi kita sebagai penonton sukses diacak-acak oleh Luc Dardenne dan Jean-Pierre Dardenne. Kerennya lagi, 'petualangan' mendatangi tiap rumah memberikan sensasi yang luar biasa padahal adegannya begitu sederhana dan sangat natural. Namun  apapun jawaban dari para rekannya seolah membuat saya tidak peduli - bahkan saya tidak peduli bagaimana nanti hasilnya atau endingnya - saya hanya ingin mengikuti bagaimana perkembangan cerita dalam film ini mengalir apa adanya.

Dan film ini semakin menarik dengan akting keren yang dibawakan oleh Marion Cotillard. Karakter Sarah yang begitu rapuh, memiliki kecemasan serta ketakutan yang besar dan terkena depresi berat begitu menyatu dengan diri Cotillard. Aktingnya benar-benar teruji ketika karakter Sarah terlihat ingin tegar setiap kali mendapat penolakan dari rekan-rekannya.  



Ya, Two Days One Night telah mengajarkan kita bahwa perjuangan keras pasti akan membuahkan hasil, apapun itu hasil akhirnya. Bahkan jika kalah sekalipun, namun sebenarnya kita justru telah menang. Jadi, jika anda penyuka film drama tanpa kisah sentimentil yang berlebihan, film ini sangat wajib ditonton. Bahkan tanpa scoring sekalipun, anda akan terhanyut ke dalam ceritanya yang begitu real dan mungkin saja terjadi pada diri kita sendiri atau orang-orang di sekitar kita.






Title: Two Days, One Night / Deux Jours, Une Nuit | Genre: Drama | Director: Luc Dardenne, Jean-Pierre Dardenne | Release date: 20 May 2014 (Cannes), 21 May 2014 (Belgium & France) | Running time: 95 minutes | Country: Belgium, Italy, France | Language: French | Cast: Marion Cotillard, Fabrizio Rongione, Olivier Gourmet | IMDb | Rotten Tomatoes




 






Translate

Waiting Lists

Sur mes lèvres.jpg Dark, brown-tinted and horror-themed image of a man in an asbestos-removal suit (to the right side of the poster), with an image of a chair (in the middle of the image) and an image of a large castle-like building at the top of the image. The text "Session 9" is emboldened in white text in the middle of the image, and near the bottom of the image is written, "Fear is a place." Lisbeth Salander with Mikael Blomkvist The Girl Who Played with Fire.jpg Page turner.jpg Le trou becker poster3.jpg Nightwatch-1994-poster.jpg Headhunter poster.jpg On the Job Philippine theatrical poster.jpg The Song of Sparrows, 2008 film.jpg The-vanishing-1988-poster.jpg Three Monkeys VideoCover.png