In the Mood for Love (2000)
In the Mood for Love (2000)
Fa yeung nin wa
Drama
|
Romance
Release date(s): 29 September 2000
Running time: 98 minutes
Country: Hong Kong
Language: Cantonese, Shanghainese, French
Country: Hong Kong
Language: Cantonese, Shanghainese, French
Starring:
Rebecca Pan
"I didn't know married life would be so complicated! When you're single, you are only responsible to yourself. Once you're married, doing well on your own is not enough!"
Menilik judulnya mungkin orang akan beranggapan bahwa film yang bersetting tahun 1962 ini adalah film yang penuh dengan adegan hot di ranjang dan dibumbui kisah romantis nan bahagia. Nyatanya, In the Mood for Love justru menampilkan kisah penuh kesedihan, konflik batin dan sisi emosional manusia. Tentang perasaan yang terabaikan, terluka, disia-siakan, penolakan dan kesepian mendalam. Perselingkuhan pun akhirnya bisa terjadi, bukan karena kemauan sendiri tetapi justru merupakan sikap dari reaksi penolakan masing-masing pasangan.
Baik aktor dan aktris utama memainkan perannya dengan sangat gemilang. Maggie Cheung and Tony Leung Chiu-Wai are the perfect casts for these roles. Tanpa perlu banyak dialog, gesture dan penampilan mereka berdua telah mewakili pesan yang ingin disampaikan oleh film ini.
Karakter Chow memang terlihat sangat menarik simpati dan iba siapapun yang melihat, terutama melihat kondisinya yang diselingkuhi oleh sang istri. Tapi justru sebenarnya karakternya malah bertolak belakang. Semuanya tak lepas dari tampang innocent nan memelas Tony Leung Chiu-Wai sehingga orang akan menyangka karakter Chow bagaikan malaikat yang tersakiti. Karakter Chow terlihat pasrah akan kejadian yang menimpanya dengan menerima segala situasi kondisi yang terjadi. Namun di satu sisi, dia menginginkan kehidupan baru bersama wanita lain, Su, yang justru malah berulang kali menolaknya, meskipun faktanya Su justru semakin tertarik pada Chow.
Karakter dari masing-masing pasangan Chow dan Su justru sama sekali tidak ditampilkan seutuhnya, dengan menyembunyikan bagian wajah dan kamera hanya fokus pada bagian lainnya seperti bagian belakang tubuh atau rambut saja. Kita pun akan dibuat penasaran, apakah istri Chow dan suami Lu yang melakukan affair? Mengingat banyak scene yang sengaja dibuat seolah-olah anggapan itu benar adanya tapi sesaat kemudian akan muncul scene yang justru malah membuat kita tidak yakin sama sekali.
Begitu banyak scene menarik dalam film ini, salah satunya adalah ketika Chow dan Su bermain peran. Su bertanya pada suaminya apakah dia selingkuh, lalu menamparnya. Kala itu Chow yang berpura-pura menjadi suaminya. Dari permainan peran tersebut kita belajar bahwa seseorang yang melakukan kesalahan tidak akan semudah itu mengakui kesalahannya. Seperti kasus dimana Su menanyakan apakah suaminya berselingkuh atau tidak dan reaksi "suami bohongannya" menjawab "iya" dengan cepat. Tapi di satu sisi, Su juga tidak ingin mendengar tanggapan yang mengatakan "tidak". Di sinilah, baik Su maupun Chow belajar cara mengatasi perasaan mereka yang terluka.
Bagaimana pun, saya suka dengan banyak hal di film ini. Settingnya, sinematografinya, wardrobe (terutama yang dikenakan Maggie dengan Cheongsamnya), make up, tata rambut, musik dan pengambilan anglenya yang unik. Hanya temponya yang lambat yang mungkin akan membosankan bagi sebagian orang. Dengan minimnya dialog, simbol-simbol yang jauh lebih banyak berbicara. Seperti halnya ketika Chow ke Angkor Wat yang bermakna bahwa ketika seseorang ingin mencurahkan rahasia yang tak bisa dibicarakan pada orang lain, maka mereka harus pergi ke gunung, mencari sebuah pohon dan menggali sebuah lubang untuk mengubur rahasia mereka di sana.
"I didn't know married life would be so complicated! When you're single, you are only responsible to yourself. Once you're married, doing well on your own is not enough!"
Saya penasaran, film apa yang menjadi the best of Hong Kong movie all the time dan akhirnya saya menemukan bahwa film ini banyak didaulat sebagai Best Hong Kong Movie. Melihat genrenya yang drama romance mungkin akan sedikit berat buat saya.
Chow Mo-Wan (Tony Leung Chiu-Wai) adalah seorang editor surat kabar yang baru saja pindah ke sebuah apartemen baru bersama istrinya. Di saat yang sama, Su Li Zhen (Maggie Cheung), seorang sekretaris cantik beserta suaminya yang seorang eksekutif juga pindah ke tempat baru yang sama dengan Chow. Mereka bahkan bertetangga.
Baik Chow dan Su masing-masing sering ditinggal oleh pasangan mereka sehingga mereka menjadi dekat satu sama lain. Hingga suatu ketika mereka menyadari bahwa pasangan mereka melakukan affair. Dengan perasaan terluka dan marah, mereka memutuskan untuk tidak akan pernah melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh pasangan mereka.
Menilik judulnya mungkin orang akan beranggapan bahwa film yang bersetting tahun 1962 ini adalah film yang penuh dengan adegan hot di ranjang dan dibumbui kisah romantis nan bahagia. Nyatanya, In the Mood for Love justru menampilkan kisah penuh kesedihan, konflik batin dan sisi emosional manusia. Tentang perasaan yang terabaikan, terluka, disia-siakan, penolakan dan kesepian mendalam. Perselingkuhan pun akhirnya bisa terjadi, bukan karena kemauan sendiri tetapi justru merupakan sikap dari reaksi penolakan masing-masing pasangan.
Baik aktor dan aktris utama memainkan perannya dengan sangat gemilang. Maggie Cheung and Tony Leung Chiu-Wai are the perfect casts for these roles. Tanpa perlu banyak dialog, gesture dan penampilan mereka berdua telah mewakili pesan yang ingin disampaikan oleh film ini.
Karakter Chow memang terlihat sangat menarik simpati dan iba siapapun yang melihat, terutama melihat kondisinya yang diselingkuhi oleh sang istri. Tapi justru sebenarnya karakternya malah bertolak belakang. Semuanya tak lepas dari tampang innocent nan memelas Tony Leung Chiu-Wai sehingga orang akan menyangka karakter Chow bagaikan malaikat yang tersakiti. Karakter Chow terlihat pasrah akan kejadian yang menimpanya dengan menerima segala situasi kondisi yang terjadi. Namun di satu sisi, dia menginginkan kehidupan baru bersama wanita lain, Su, yang justru malah berulang kali menolaknya, meskipun faktanya Su justru semakin tertarik pada Chow.
Sedangkan karakter Su alias Mrs. Chan sendiri merupakan cerminan dari seorang wanita lemah yang terkungkung dalam adat dan tradisi. Bahkan karakter tersebut tak mampu membuat pilihan sederhana hanya karena ketakutan yang tak diketahui pasti dari mana sumbernya. Mengetahui suaminya berselingkuh, Su tak bisa berbuat apa pun, bahkan secara tidak langsung dia malah membantu perselingkuhan bosnya di tempat kerja. Dan akhirnya karakter Su pun sama seperti Chow yang mau tidak mau harus terus berjuang mempertahankan rumah tangga dengan berpura-pura menerima perselingkuhan suaminya. Kendati dia tak berdaya, namun dia tetap menemui Chow secara sembunyi-sembunyi lalu berpura-pura semuanya baik-baik saja ketika bersama pasangannya, yang nyatanya justru sangat menyakitkan.
Karakter dari masing-masing pasangan Chow dan Su justru sama sekali tidak ditampilkan seutuhnya, dengan menyembunyikan bagian wajah dan kamera hanya fokus pada bagian lainnya seperti bagian belakang tubuh atau rambut saja. Kita pun akan dibuat penasaran, apakah istri Chow dan suami Lu yang melakukan affair? Mengingat banyak scene yang sengaja dibuat seolah-olah anggapan itu benar adanya tapi sesaat kemudian akan muncul scene yang justru malah membuat kita tidak yakin sama sekali.
Begitu banyak scene menarik dalam film ini, salah satunya adalah ketika Chow dan Su bermain peran. Su bertanya pada suaminya apakah dia selingkuh, lalu menamparnya. Kala itu Chow yang berpura-pura menjadi suaminya. Dari permainan peran tersebut kita belajar bahwa seseorang yang melakukan kesalahan tidak akan semudah itu mengakui kesalahannya. Seperti kasus dimana Su menanyakan apakah suaminya berselingkuh atau tidak dan reaksi "suami bohongannya" menjawab "iya" dengan cepat. Tapi di satu sisi, Su juga tidak ingin mendengar tanggapan yang mengatakan "tidak". Di sinilah, baik Su maupun Chow belajar cara mengatasi perasaan mereka yang terluka.
Bagaimana pun, saya suka dengan banyak hal di film ini. Settingnya, sinematografinya, wardrobe (terutama yang dikenakan Maggie dengan Cheongsamnya), make up, tata rambut, musik dan pengambilan anglenya yang unik. Hanya temponya yang lambat yang mungkin akan membosankan bagi sebagian orang. Dengan minimnya dialog, simbol-simbol yang jauh lebih banyak berbicara. Seperti halnya ketika Chow ke Angkor Wat yang bermakna bahwa ketika seseorang ingin mencurahkan rahasia yang tak bisa dibicarakan pada orang lain, maka mereka harus pergi ke gunung, mencari sebuah pohon dan menggali sebuah lubang untuk mengubur rahasia mereka di sana.
1 comment:
seperti American Beauty (1999) aura film ini
Post a Comment