A Coffee in Berlin (2012)
Seorang pemuda bernama Niko (Tom Schilling) drop out dari universitasnya dan berakhir dengan menyusuri jalanan di kota Berlin, bertemu dengan berbagai macam orang dalam berbagai kejadian. Namun, dia merasa dirinya terasing dan tidak mempunyai tempat dimana pun berada.
Disajikan dalam visual hitam putih, film ini memang terlihat akan menyajikan sinematografi yang indah dengan pengambilan shot-shot yang tak kalah indah dan menarik. Tak salah memang tebakan saya, hanya saja shot-shot tersebut terasa kurang banyak, terutama pengambilan shot tentang kota Berlin itu sendiri. Saya berharap dengan adanya kata 'Berlin' dalam judul film ini, maka sangat diharapkan kota Berlin itu sendiri tereksplor lebih luas lagi. Namun sepertinya film ini memang lebih mengkhususnya pada cerita tentang keterasingan diri ketimbang mengeksplor keindahan kota Berlin. Jika saja kota Berlin tersebut di eksplor lebih, pasti akan lebih menarik lagi.
Ya, film yang aslinya berjudul Oh Boy ini memang menceritakan tentang seorang Niko yang mengalami hari-hari yang mungkin bisa dikatakan tanpa gairah hidup, tanpa tujuan pasti atau mungkin bisa dikatakan belum mengetahui tujuan hidupnya. Film ini menggambarkan tentang kehidupan seseorang yang tidak dapat menemukan tempatnya sendiri di sekeliling orang-orang yang ditemuinya dalam hidupnya. Bagaimana dia merasakan bahwa orang-orang tersebut menjadi sosok-sosok yang asing baginya, namun sejatinya justru dirinya sendirilah yang menjadi sosok asing bagi dirinya sendiri. Berbagai kejadian yang tak biasa kerap terjadi pada dirinya dengan interaksi yang kadang terasa absurd dan lucu dengan orang-orang yang ditemuinya. Sebuah potret diri yang terkesan ironis bahkan mungkin bisa dikatakan tragis dari seseorang yang sedang kebingungan dan kesulitan mencari tempat untuk dirinya. Keterasingan kerap melanda dimana pun dia berada. Film ini pun seolah menggambarkan bagaimana orang-orang saat ini merasa tidak nyaman dan takut sendirian. Kesendirian adalah merupakan momok yang paling menakutkan dan bagaimana kesendirian tersebut membuat takut banyak orang mengalaminya; karena tak seorang pun ingin sendiri di dunia ini - tentu saja. Hal tersebut terpampang jelas dalam salah satu scene tentang tetangga baru Niko. That scene is horrible and also hilarious at the same time.
Pertemuan Niko dengan setiap orang yang ditemuinya selalu menimbulkan sensasi penasaran bagi saya seperti apa nantinya akhir ceritanya dengan orang-orang yang ditemuinya tersebut. Seperti ketika Niko bertemu teman semasa sekolahnya, Julika Hoffmann (Friederike Kempter) yang dulu pernah diejeknya dengan panggilan Roly Poly Julia karena dulunya gendut, atau ketika dia bertandang ke rumah salah satu kenalan dari temannya Matze (Marc Hosemann) dan ngobrol dengan nenek dari kenalannya tersebut. Pertemuan-pertemuan tersebut berlangsung dengan ke-absurd-an yang diselingi komedi di dalamnya. Namun tak jarang tragedi juga terjadi dalam pertemuan tersebut; sama seperti kehidupan yang penuh warna ini.
Tom Schiling yang malah saya kenal duluan lewat perannya di Who Am I - Kein System ist Sicher (2014), bermain sangat bagus memerankan karakter Niko di film ini. Segala gerak-gerik dan gesture yang ditunjukkannya sangat sesuai dengan karakter Niko yang terlihat seperti tidak mempunyai gairah hidup, malas, frustasi dan tanpa tujuan hidup. Namun, di lain waktu karakter Niko tersebut bisa menjadi karakter yang loveable; salah satunya bisa dilihat dalam scene ketika dia bersama dengan nenek kenalannya tersebut. Dan lagi-lagi kesepian dan kesendirian tergambar jelas dalam scene tersebut. Scene yang juga sukses membuat sejenak mata saya berkaca-kaca.
Ya, film yang aslinya berjudul Oh Boy ini memang menceritakan tentang seorang Niko yang mengalami hari-hari yang mungkin bisa dikatakan tanpa gairah hidup, tanpa tujuan pasti atau mungkin bisa dikatakan belum mengetahui tujuan hidupnya. Film ini menggambarkan tentang kehidupan seseorang yang tidak dapat menemukan tempatnya sendiri di sekeliling orang-orang yang ditemuinya dalam hidupnya. Bagaimana dia merasakan bahwa orang-orang tersebut menjadi sosok-sosok yang asing baginya, namun sejatinya justru dirinya sendirilah yang menjadi sosok asing bagi dirinya sendiri. Berbagai kejadian yang tak biasa kerap terjadi pada dirinya dengan interaksi yang kadang terasa absurd dan lucu dengan orang-orang yang ditemuinya. Sebuah potret diri yang terkesan ironis bahkan mungkin bisa dikatakan tragis dari seseorang yang sedang kebingungan dan kesulitan mencari tempat untuk dirinya. Keterasingan kerap melanda dimana pun dia berada. Film ini pun seolah menggambarkan bagaimana orang-orang saat ini merasa tidak nyaman dan takut sendirian. Kesendirian adalah merupakan momok yang paling menakutkan dan bagaimana kesendirian tersebut membuat takut banyak orang mengalaminya; karena tak seorang pun ingin sendiri di dunia ini - tentu saja. Hal tersebut terpampang jelas dalam salah satu scene tentang tetangga baru Niko. That scene is horrible and also hilarious at the same time.
Pertemuan Niko dengan setiap orang yang ditemuinya selalu menimbulkan sensasi penasaran bagi saya seperti apa nantinya akhir ceritanya dengan orang-orang yang ditemuinya tersebut. Seperti ketika Niko bertemu teman semasa sekolahnya, Julika Hoffmann (Friederike Kempter) yang dulu pernah diejeknya dengan panggilan Roly Poly Julia karena dulunya gendut, atau ketika dia bertandang ke rumah salah satu kenalan dari temannya Matze (Marc Hosemann) dan ngobrol dengan nenek dari kenalannya tersebut. Pertemuan-pertemuan tersebut berlangsung dengan ke-absurd-an yang diselingi komedi di dalamnya. Namun tak jarang tragedi juga terjadi dalam pertemuan tersebut; sama seperti kehidupan yang penuh warna ini.
Tom Schiling yang malah saya kenal duluan lewat perannya di Who Am I - Kein System ist Sicher (2014), bermain sangat bagus memerankan karakter Niko di film ini. Segala gerak-gerik dan gesture yang ditunjukkannya sangat sesuai dengan karakter Niko yang terlihat seperti tidak mempunyai gairah hidup, malas, frustasi dan tanpa tujuan hidup. Namun, di lain waktu karakter Niko tersebut bisa menjadi karakter yang loveable; salah satunya bisa dilihat dalam scene ketika dia bersama dengan nenek kenalannya tersebut. Dan lagi-lagi kesepian dan kesendirian tergambar jelas dalam scene tersebut. Scene yang juga sukses membuat sejenak mata saya berkaca-kaca.
Dan saya suka, suka sekali dengan film ini. Mungkin juga karena saya pun pernah dan sering mengalami hal yang sama dengan karakter utamanya sehingga saya bersimpati pada karakter Niko tersebut. Selain itu visual hitam putihnya terkesan klasik dan menjadikan film ini semakin menarik. Dipadu dengan sajian musiknya yang jazzy, semakin membuat saya sangat menikmati film ini. A Coffee in Berlin adalah sajian drama tragicomedy penuh komedi satir yang patut anda coba. Ditemani dengan 'kopi' yang ternyata butuh perjuangan untuk mendapatkannya - itulah mungkin kenapa endingnya seakan menimbulkan persepsi berbeda tiap penonton yang menontonnya. Mungkin saja anda akan menemukan tujuan hidup anda yang sebenarnya setelah menonton film ini.
Title: A Coffee in Berlin / Oh Boy | Genre: Drama | Director: Jan Ole Gerster | Release Date: 1 November 2012 | Running Time: 86 minutes | Country: Germany | Language: German, English | Cast: Tom Schilling, Marc Hosemann, Friederike Kempter, Justus von Dohnányi, Katharina Schüttler | IMDb | Rotten Tomatoes
Title: A Coffee in Berlin / Oh Boy | Genre: Drama | Director: Jan Ole Gerster | Release Date: 1 November 2012 | Running Time: 86 minutes | Country: Germany | Language: German, English | Cast: Tom Schilling, Marc Hosemann, Friederike Kempter, Justus von Dohnányi, Katharina Schüttler | IMDb | Rotten Tomatoes
2 comments:
Review-nya bagus, jeng.
Salut atas pemilihan gaya bahasa baku yang diterapkan di blog ini.
Salam dari sesama ex-member "forum yang dulu itu".
@anonymous: Hey, anda siapa? kenapa tidak menuliskan ID member dari 'forum yang dulu itu'? :D
Terima kasih sudah mampir dan komen ;)
Post a Comment