Chungking Express (1994)
Chungking Express (1994)
Chung Hing sam lam
Release date(s): 14 July 1994
Running time: 102 minutes (US), 98 minutes (HK)
Country: Hong Kong
Language: Cantonese, Mandarin, English, Japanese, Hindi
Country: Hong Kong
Language: Cantonese, Mandarin, English, Japanese, Hindi
Starring:
If memories could be canned, would they also have expiry dates? If so, I hope they last for centuries.
Sejak menonton trilogy buatan Wong Kar-Wai, saya semakin menyukai karya sutradara satu ini. Dan kali ini saya memilih Chungking Express. Chungking Express memiliki dua segmen cerita yang tidak memiliki kaitan namun memiliki kesamaan tema, patah hati dan kesepian. Nyaris hampir di setiap film karyanya, Wong selalu menciptakan tema tersebut.
Segmen pertama bercerita tentang seorang polisi berkode 223, He Zhiwu (Takeshi Kaneshiro) yang baru putus dari pacarnya setelah menjalin hubungan selama lima tahun bernama May. Zhiwu sama sekali tak bisa melupakan May. Untuk mengusir kesedihannya, dia berjogging. Dengan jogging, akan membuatnya berkeringat banyak sehingga tidak ada air yang tersisa untuk membuatnya menangis, begitu pikirnya. Karena begitu putus asanya, Zhiwu memutuskan untuk jatuh cinta pada wanita pertama yang dilihatnya di bar pada suatu malam. Wanita cantik berambut pirang tersebut ternyata anggota sindikat penyelundupan narkoba.
Sedangkan segmen kedua bercerita tentang polisi berkode 663 (Tony Leung Chiu-Wai) yang baru ditinggal pacarnya yang seorang pramugari (Valerie Chow). Hampir setiap hari, dia pergi ke sebuah kios makanan ringan untuk membeli makanan. Diam-diam, salah seorang pekerja di kios itu yang bernama Faye (Faye Wong) jatuh cinta padanya.
Ceritanya pun seperti biasa, sederhana. Tentang kesepian karena patah hati. Namun patah hati bukan akhir segalanya, begitulah yang disampaikan Wong lewat film ini. Wong pun menggambarkannya dengan begitu indah, artistik, dan unik walau hanya dengan setting yang sederhana dan terlalu biasa; kios makanan kecil, pasar yang ramai dan penuh sesak, atau apartemen yang
kurang terurus dan berantakan. Di balut dengan musik yang tepat, semakin membuat film ini menjadi luar biasa. Tak lupa, dialog-dialognya pun sangat bagus dan berkesan, tipikal film seorang Wong. Mungkin sedikit yang mengganggu adalah ketika
adegan tembak-menembak atau lari, pergerakan kamera dibuat sangat cepat
sehingga membuat pusing ketika menontonnya.
Lalu bagaimana dengan akting para pemainnya? Semuanya bermain sangat totalitas. Takeshi Kaneshiro - walau porsinya tak sebanyak Tony Leung - mampu membuktikan diri sebagai seorang pria yang luar biasa kesepian dan frustasi sejak ditinggal sang kekasih. Lalu Briggite Lin yang aktingnya sangat keren sebagai seorang wanita pirang sindikat narkoba. Adegannya ketika menodongkan pistol menjadi scene favorit saya dalam film ini.
Faye Wong pun bermain sangat bagus dengan karakternya yang cuek dan tomboy. Di sini akan terlihat karakter Faye yang begitu terobsesi dengan cinta, hingga menjadikannya kadang-kadang liar
dan gila hanya untuk menarik perhatian orang yang disukainya. Adegan ketika
Faye diam-diam menyelinap ke apartemen si polisi 663, lalu mengacak-acak
ruangan, membersihkannnya lalu mengganti hampir semua barang yang ada
dengan yang baru menjadi suguhan yang lucu nan menarik. Dua jempol untuk akting "gila" Faye Wong.
Dan terakhir tentu saja Tony Leung Chiu-Wai yang selalu bermain bagus di tiap film besutan Wong. Saya lebih suka aktingnya dalam film ini dibandingkan ketika di In the Mood for Love. Sikap coolnya benar-benar membuat gregetan.
Dan terakhir tentu saja Tony Leung Chiu-Wai yang selalu bermain bagus di tiap film besutan Wong. Saya lebih suka aktingnya dalam film ini dibandingkan ketika di In the Mood for Love. Sikap coolnya benar-benar membuat gregetan.
Sekali lagi, Wong Kar-Wai berhasil membius saya dengan balutan karyanya yang begitu menarik untuk ditonton melalui pandangan yang berbeda tentang arti sebuah cinta.