Tokyo Story (1953)
Tokyo Story (1953)
(Tôkyô Monogatari)
Drama
Director:
Yasujirō Ozu
Release date(s): November 3, 1953
Running time: 136 minutes
Country: Japan
Language: Japanese
Running time: 136 minutes
Country: Japan
Language: Japanese
Casts:
"Isn't life disappointing?" - Kyoko
Saya semakin keranjingan nonton film-film lawas. Kali ini film lawas dari negeri sakura yang jadi pilihan saya. Tokyo Story yang disebut-sebut sebagai one of the greatest movie all the time. Film ini disutradarai oleh dewanya sutradara Jepang, Yasujiro Ozu.
Dengan plot yang sederhana dan durasi selama dua jam lebih ini, membuat film ini malah kian menarik untuk diikuti. Alurnya cepat tanpa cerita yang bertele-tele, sehingga membuat waktu 136 menit menjadi tidak terasa. Film ini memang menyikap tentang masalah keluarga, seperti apa sebenarnya keluarga itu. Bagaimana hubungan anak-anak dengan orang tua, dengan jaman yang sangat kontras satu sama lain; tradisional versus modern. Dimana setiap orang tua pasti peduli pada masa depan anaknya, tetapi setiap anak juga terkadang ingin melepaskan diri dari keinginan orang tua tersebut tanpa harus merasakan perasaan bersalah yang menghantui mereka.
Tokyo Story menampilkan kekhawatiran orang tua-anak akan banyak hal yang harus dihadapi dalam hidup seperti perjuangan untuk mempertahankan hidup yang tidak sesuai dengan harapan orang tua, perubahan yang terjadi dalam hubungan orang tua-anak disebabkan oleh perubahan jaman, atau pun perpisahan dan kehilangan yang tidak bisa dihindarkan. Namun, baik orang tua mau pun anak, tidak ada yang bisa disalahkan. Semua adalah hakikat dari kehidupan itu sendiri.
Banyak hal yang sepertinya memang terjadi di jaman sekarang, dituturkan dalam film ini. Salah satunya adalah ketika Shige dan Koichi yang sibuk, mengirim kedua orang tua mereka ke Atami, sebuah tempat pemandian air hangat agar mereka bisa menikmati rileksasi. Padahal bukan itu yang sebenarnya diinginkan oleh mereka. Meraka hanya ingin merasakan kebersamaan dengan anak-anak mereka dan tentu saja kepedulian dari anak-anak mereka tersebut. Tapi yang ada anak-anak mereka malah menganggap mereka sebagai beban. Kendati, kita pun tidak bisa menyalahkan sang anak karena memang situasi kondisi kehidupan mereka yang memaksa mereka berbuat seperti itu. Lalu para cucu yang begitu terlihat acuh tak acuh terhadap kakek-nenek mereka dan mungkin malah tidak diajarkan tentang sopan santun atau pun tradisi yang ada, sangat mencerminkan perilaku kehidupan di jaman sekarang. Tanpa bisa dipungkiri, inilah realitas yang terjadi di jaman sekarang ini. Dan Ozu telah menceritakan hal tersebut dalam filmnya.
Dua jempol untuk para pemain dalam film ini, sehingga menciptakan film yang terlihat sangat nyata bagaikan film dokumenter. Emosi kita terasa diaduk-aduk ketika menontonnya. Hampir tiap scene menjadi memorable. Bahkan pertanyaan dari Kyoko (Kyōko Kagawa) kepada Noriko terasa sangat membekas sekali, "Isn't life disappointing?". Walau Ozu tidak memberikan pemecahan masalah yang terjadi dalam film ini, tapi gambaran kehidupan yang dipaparkannya melalui film ini, menjadi tamparan atau pun pembelajaran bagi diri kita sendiri. Tinggal kita sendiri yang mencari jalan keluarnya. Jelas, bagi penikmat film, khususnya penyuka genre human drama, wajib untuk menonton film ini. Recommended!
Dua jempol untuk para pemain dalam film ini, sehingga menciptakan film yang terlihat sangat nyata bagaikan film dokumenter. Emosi kita terasa diaduk-aduk ketika menontonnya. Hampir tiap scene menjadi memorable. Bahkan pertanyaan dari Kyoko (Kyōko Kagawa) kepada Noriko terasa sangat membekas sekali, "Isn't life disappointing?". Walau Ozu tidak memberikan pemecahan masalah yang terjadi dalam film ini, tapi gambaran kehidupan yang dipaparkannya melalui film ini, menjadi tamparan atau pun pembelajaran bagi diri kita sendiri. Tinggal kita sendiri yang mencari jalan keluarnya. Jelas, bagi penikmat film, khususnya penyuka genre human drama, wajib untuk menonton film ini. Recommended!