“Saya bukannya nggak percaya sama kamu, tapi saya memang nggak percaya sama siapa-siapa.” - Bangun
Dua tahun telah berlalu sejak
The Raid sempat mendadak banyak diperbincangkan di dunia perfilman dalam dan luar negeri berkat aksi
martial arts-nya terutama Pencak Silat. Dan sekarang, tahun 2014 ini, sekuelnya hadir,
The Raid 2: Berandal. Banyak yang berekspektasi tinggi dan berharap banyak dari sekuelnya ini. Tak sedikit juga yang justru merasa sebaliknya, seperti saya. Jujur, saya kurang puas dengan The Raid sehingga sekuelnya ini pun takut berekspektasi besar. Namun, apa yang saya takutnya tidak terbukti sama sekali. The Raid 2: Berandal justru melebihi ekspektasi saya dan memberikan banyak hal berlebih – kendati yang berlebihan itu justru tidak baik. Ya, saya cukup puas dengan sekuelnya ini. Dialognya tak lagi kacau dan datar tanpa intonasi seperti sebelumnya,
aksi bela dirinya semakin banyak, brutal, liar dan sadis – walaupun tak
ada satu momen mengesankan seperti pertarungan
Rama dan
Mad Dog saking
banyaknya adegan pertarungannya -, aksi kebut-kebutan mobilnya seru,
para karakter baru yang lebih iblis dari iblis sekalipun dan tentunya
ceritanya yang jauh lebih berbobot dan seru. Tulisan saya berikut ini
sedikit banyak mengandung SPOILER, jadi jika anda belum menonton filmnya
dan bersikeras ingin meneruskan membaca review saya, saya tidak
bertanggung jawab jika kenikmatan anda menonton nantinya jadi berkurang.
Ceritanya sendiri mengambil setting dua jam setelah peristiwa serbuan maut berdarah di apartemen bertingkat di prekuelnya. Rama (Iko Uwais) sebagai salah satu polisi yang selamat dipaksa oleh Bunawar (Cok Simbara), pemimpin satuan anti korupsi di Indonesia, untuk menjalani sebuah misi penting. Untuk menjalankan misi tersebut, Rama harus menyamar dan rela dijebloskan ke penjara agar bisa dekat dengan Ucok (Arifin Putra), putra seorang bos mafia yang paling ditakuti, Bangun (Tio Pakusadewo). Bangun bekerjasama dengan klan mafia Jepang, Goto (Kenichi Endo) yang telah terjalin selama 30 tahun. Rama yang menyamar dengan nama Yudha ini akhirnya terseret ke dalam dunia mafia yang penuh keserakahan, pengkhianatan dan intrik berdarah. Satu-satunya jalan keluar adalah menuntaskan misinya secepat mungkin.
Seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya,
The Raid 2: Berandal menyajikan sajian action yang memukau dari yang sebelumnya. Kebrutalannya meningkat menjadi dua kali lipat. Kekacauan demi kekacauan yang tercipta nyaris membuat kita tidak diberi kesempatan untuk menarik nafas barang sejenak. Adegan pertarungannya pun tidak hanya berfokus pada satu tempat saja. Adegan pertarungan di lapangan penjara penuh lumpur yang syutingnya berlokasi di benteng tua
Van Der Wijck di Gombong, Jawa Tengah, menjadi pertarungan yang paling lama durasinya. Kemudian adegan kejar-kejaran mobil di jalan raya dengan menghantam halte busway. Kedua adegan tersebut adalah adegan favorit saya. Lalu adegan pertarungan
Hammer Girl di kereta api, adegan pertarungan Rama, Hammer Girl dan
Baseball Bat Man, dan adegan pertarungan Rama dengan
The Assasin (Cecep Arif Rahman) yang bersenjatakan Karambit (senjata tradisional Minangkabau) di dapur. (Ya, dapur!) menjadi adegan pamungkas yang brutal namun indah. Ketika adegan pertarungan terjadi, pergerakan kameranya sangat cepat, nyaris membuat mata tak berkedip melihatnya. Saya saja sempat pusing dan rasanya ingin mempause dan merewind berkali-kali adegan tersebut seperti ketika saya menonton di laptop.
Ketika saya menonton di bioskop beberapa hari yang lalu, jeritan dan ringisan kerap terdengar ketika adegan pertarungan yang brutal dan berdarah berlangsung. Kebanyakan, sih berasal dari penonton perempuan. Bahkan teman saya sampai memalingkan wajahnya, ngilu dan ngeri ketika adegan sayat menyayat leher dengan cutter yang dilakukan Ucok dan adegan ketika wajah seseorang yang ’dipanggang’ di pemanggang. Saya sendiri justru sangat menikmati adegan-adegan tersebut. Saya menyesalkan banyaknya adegan yang katanya disensor sampai 20 menitan walaupun katanya (lagi) sama sekali tidak terlalu berpengaruh pada jalan ceritanya. Ya, begitulah tidak enaknya kalau menonton di bioskop. Namun begitu, sensasi menonton di bioskop tentulah lebih seru dan menegangkan. Sorak-sorak dan tepuk tangan penonton ketika adegan pertarungan antara Rama, Hammer Girl dan Baseball Bat Man berakhir, menjadikan acara menonton semakin menyenangkan dan terasa hidup.
Kendati begitu, The Raid 2: Berandal juga masih menyisakan beberapa kejanggalan, terutama di plot cerita. Saya tidak akan membeberkannya lebih lanjut karena akan semakin mengurangi kenikmatan anda menontonnya nanti, tapi satu hal yang paling menyita perhatian adalah tentang salju. Ya, ada satu adegan dimana ada salju turun. Saya sempat berpikiran kenapa setting yang tadinya di sebuah bar di Jakarta bisa mendadak berubah di tempat lain (tebakan saya di Jepang) ketika karakter
Prakoso (
Yayan Ruhian) keluar dari bar tersebut. Tapi saya kaget ketika ada penampakan gerobak makanan dengan tulisan mie ayam di daerah bersalju tersebut. Berarti settingnya masih di Jakarta. Tapi kenapa bisa ada salju? Nah, jawabannya bisa anda baca dibawah ini!
|
*kaskus.co.id |
Lalu, berbicara soal karakter-karakternya, saya kurang suka dengan penampilan karakter Rama yang seperti robot, luar biasa kuat dan selalu menang di setiap pertarungan yang menguras begitu banyak tenaga. Memang, sih kalau karakter Rama ini kalah, ceritanya bakalan selesai! Tapi, setidaknya, karakter tersebut harus terlihat lebih manusiawi. Contohnya, ada jeda dalam adegan pertarungannya. Bukan malah selesai melawan satu pertarungan terus menang, lalu bertarung lagi, menang lagi, begitu seterusnya hingga pertarungan terakhir melawan
the main villain. Padahal kalau secara logika, tentulah energi akan terkuras habis dan mungkin tidak akan memenangkan semua pertarungan. Tapi, ya sudahlah!
It’s just a movie and we just have to enjoy watching it, right?! Kembali lagi ke soal karakter, kali ini
Iko Uwais berakting lebih bagus dari sebelumnya dalam memerankan karakter Rama/Yuda. Tapi yang berhasil menghidupkan film ini adalah seorang
Arifin Putra yang memerankan karakter Ucok. Mimik dan gesturenya benar-benar sangat meyakinkan sebagai penjahat sadis dengan tatapan membunuh dan tindakan sadisnya.
He’s the devil! Lalu yang berhasil juga sukses mencuri perhatian adalah pasangan pembunuh bayaran Hammer Girl yang diperankan oleh
Julie Estelle dan The Baseball Bat Man yang dimainkan oleh
Very Tri Yulisman.
’Sini bolanya’, kalimat mematikan The Baseball Bat Man mendadak menjadi kalimat favorit saya. Bicara soal Julie Estelle, saya awalnya skeptis dan sempat berujar,
"Why her?”. Tapi, melihat aksi mematikannya sebagai sosok si gadis Palu mematikan di sini, saya mengakui aktingnya bagus –
apakah karena faktor tanpa dialognya? Entahlah!.
Tak lupa para pemain lainnya yang bermain bagus juga,
Tio Pakusadewo,
Oka Antara,
Alex Abbad,
Cok Simbara,
Roy Martin,
Cecep Arif Rahman sebagai The Assasin dingin, sadis dan mematikan seperti Mad Dog, dan para aktor dari negeri Sakura:
Matsuda Ryuhei,
Kenichi Endo, dan
Kitamura Kazuki yang baru saja bermain di film
Killers (saya belum menontonnya!). Tapi yang paling saya tunggu sebenarnya kemunculan Matsuda Ryuhei yang sukses membuat saya tergila-gila pada aktingnya di film
Mahoro Tada’s Do it All House dan film
The Great Passage. Sayangnya, kemunculannya hanya sedikit dengan dialog yang juga minim sekali dan tidak ada satu katapun yang disebutkannya dalam Bahasa Indonesia.
Ah, sayang sekali!
Akhirnya, saya akan mengakhiri review saya yang penuh spoiler ini dengan mengatakan bahwa The Raid 2: Berandal layak untuk ditonton meski masih memiliki kekurangan di sana-sini.
The Raid 2 is much more interesting, more bloods, more fights. Dan semoga The Raid 2 bisa menjadi acuan untuk para sineas di negeri ini untuk berpacu menghasilkan tontonan yang bermutu dan cerdas, bukan hanya tontonan esek-esek semata.
Lokasi ketika Eka dan Rama melarikan diri dari kejar-kejaran mobil, Eka bersembunyi di sebuah gedung tua. Gedung tersebut ternyata fake dan memakai efek CGI.